Jumat, 25 Desember 2015

PERMUKIMAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
KAMPUNG PAHANDUT, KOTA PALANGKARAYA
Noor Hamidah
Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Palangkaraya
Abstrak
Pembangunan berkelanjutan ialah peningkatan kualitas hidup manusia dan menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Pembangunan kota terfokus pada perubahan lingkungan, namun belum menyentuh pembangunan manusia dan lingkungan permukimannya. Perkembangan tanah untuk lahan bermukim hanya mengikuti mekanisme pasar, seperti permukiman di Kampung Pahandut, Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya. Permukiman ini berkembang sejak tahun 1894 yaitu merupakan perkampungan penduduk Dayak Ngaju. Kegiatan masyarakat Dayak Ngaju ialah petani ladang berpindah di sepanjang sungai Kahayan.  Sungai berfungsi antara lain: transportasi, tempat bermukim, mata pencaharian “pasha mandulang” (tambang emas dan intan), dan fungsi sosial budaya. Kelurahan Pahandut awalnya sebuah kampung kecil, kini berkembang pesat menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalisa permukiman berkelanjutan berwawasan lingkungan di Kampung Pahandut Kota Palangkaraya. Metode penelitian menggunakan metode gabungan (mixed use method) antara kualitatif dan kuantitatif. Analisa penelitian mengacu pada teori permukiman (human settlement theory) yaitu menganalisa empat aspek permukiman antara lain: alam (nature), lindungan (shell), jaringan (network), dan manusia/masyarakat (man). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aspek permukiman tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan. Cara hidup masyarakat Dayak Ngaju tanggap pada kelestarian lingkungan  dan budaya gotong royong dalam di lingkungan permukiman.


Kata kunci: permukiman, pembangunan berkelanjutan, lingkungan

PENDAHULUAN
Permukiman sebagai suatu wadah atau suatu wujud fisik budaya saling mempengaruhi dengan isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami sebagai tempatnya. Ada 2 aspek penting mengenai isi dan lingkungan alami yang perlu dipahami dari permukiman Indonesia, yaitu pertama, isi meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua, lingkungan alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial Geografi keruangan didalamnya telah mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya perubahan sosio-ekonomi. (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).

Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300 suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 Propinsi dengan keaneka-ragaman sifat  lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu di  Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992). 

Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam keaneka ragaman sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan pertumbuhan tinggi sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari suku-suku terasing dan kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh oleh perubahan. Kemampuan permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan perkembangannya akan memiliki makna berbeda karena tempat yang berbeda. (Indonesia Heritage, 1992).    

Tautan lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik ini merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses transportasi. Akses daerah aliran sungai merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki banyak anak sungai dengan muaranya adalah sungai Kahayan. Tipologi mayoritas masyarakatnya bermukim dan menggantungkan hidup pada sungai. Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangka Raya dikenal dengan sebutan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).

 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu:
Identifikasi studi pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik dari kawasan kota tepian sungai. Studi pola sirkulasi dan pola ruang kawasan tepian sungai sebagai upaya konservasi eko-wisata tepian sungai di masa mendatang. Berdasarkan tujuan di atas, manfaat penelitian ini ialah:
1.       Untuk mengenal wujud pola sirkulasi kawasan tepian Sungai Kahayan dan merekomendasikan modal pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik sebagai wisata sungai. Model pola sirkulasi bermanfaat membuka akses menuju ke kawasan pelestarian  arsitektur bangunan tua dan menuju wisata tepian sungai sebagai aset andalan Kota Palangkaraya di masa mendatang.
2.       Untuk mengenal wujud arsitektur kawasan tepian sungai dan merekomendasikan menjadi kawasan andalan wisata arsitektur bangunan tua melalui kajian bentuk hunian kawasan tepian Sungai Kahayan, sehingga mendapatkan gambaran potensi pengembangan konsep pola bentuk hunian yang akan di Konservasi di kawasan Tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian ekplorasi kualitatif lapangan (A qualitative Exploratory Research) berdasarkan ekplorasi data lapangan (field observation) nilai historis kawasan melalui survei, wawancara dan identifikasi potensi kawasan tepian Sungai Kahayan. Kawasan yang menjadi kasus penelitian adalah potensi transportasi sungai dan pola sirkulasi tepian sungai Kahayan Kota Palangkaraya. Data-data dikumpulkan melalui literature review dan pengamatan lapangan (field observation) atas aspek fisik lingkungan buatan yang mendukung potensi transportasi sungai antara lain: sarana transportasi sungai (jalan, titian, jembatan), dermaga dan pelabuhan serta rumah tinggal. Selanjutnya data dianalisis dengan metode komparasi dan deskriptif-interpretatif berbagai aspek kehidupan. 

Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi pada kawasan permukiman informal tepian sungai Kahayan Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 2). Sungai Kahayan ialah sungai yang memiliki panjang 450 m2 dan lebar 100m2. Luas Wilayah administratif Kota Palangkaraya 2.400 km² lahan terbangun ± 226,67 km² dengan jumlah penduduk ± 210.600 jiwa (56.000 KK). Batas administrasi meliputi: 1) Utara: Kabupaten Gunung Mas; 2) Selatan: Kabupaten Pulang Pisau; 3) Timur: Kab. Gunung Mas; dan 4) Barat: Kabupaten Katingan.  

Kajian empirik kawasan permukiman informal ini berada sepanjang tepian sungai Kahayan dalam lingkup Kota Palangkaraya. Lokasi penelitian ialah pada tingkat Kelurahan akan diambil sampel model per RW sebagai sampel pola sirkulasi kawasan.

Sungai Kahayan merupakan sungai besar yang awal mulanya merupakan jalur transportasi antar kota maupun daerah di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, sungai tersebut masih berfungsi sebagai penghubung ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau jalur jalan darat. Sungai-sungai di Kalimantan Tengah termasuk Sungai Kahayan merupakan sarana transportasi yang dominan dan sungai sebagai urat nadi perekonomian daerah. Kawasan Bantaran Sungai Kahayan ini pada musim tertentu seperti pada musim hujan akan terlihat seolah-olah berdiri diatas air (terapung). Pada musim kemarau, kawasan permukiman ini akan terlihat berdiri di atas daratan. Kondisi eksisting ini merupakan keunikan yang terdapat di kawasan selain pola permukiman juga pola sirkulasi yang berbeda pola sirkulasi Jalan titian kayu (wood bridge), Jalan tanah (unpavement) dan Jalan cor beton memiliki variasi lebar 2 – 3 meter. 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola dan Struktur Kota Tepian Sungai
Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di Kalimantan (Prayitno, 2005) ada delapan macam, yaitu: (1) sungai membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah kota danau; dan (8) kota pantai yang berdekatan dengan sungai. Karakteristik ini tentunya berbeda dengan satu dan lainnya. Selain pola permukiman, untuk morfologi  kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu: (1) Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi; (2) Kampung di sepanjang sungai.
Karakteristik pola permukiman, untuk morfologi kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu:
(1)          Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi;
(2)          Kampung di sepanjang sungai. Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan menggunakan sungai sebagai sarana transportasi, mempunyai kecenderungan pola yang linier dengan orientasi mengikuti pola aliran sungai.
Temuan hasil penelitian berikut ini merupakan pola sirkulasi di kawasan permukiman tepian sungai Kahayan beserta infrastruktur pendukung transportasi sungainya. Berdasarkan data dari hasil pengamatan di lapangan, pola pembentuk sirkulasi ialah kawasan permukiman beserta infrastruktur pendukung di kawasan tepian sungai Kahayan ditemukan antara lain: (Hamidah, 2013).

1. Pola Permukiman Pembentuk Pola Sirkulasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 total luas wilayah Kalimantan Tengah adalah 153,567 km²(15.356.700 Ha) atau 1,5 kali luas pulau Jawa dengan jumlah penduduk 1.935.669 (hampir 2 juta jiwa) atau 553.057 Kepala Keluarga. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk adalah 12 jiwa/ km². Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 95 kecamatan, 123 kelurahan, 1.183 desa dan 66 buah kedemangan. Dari ke 13 kabupaten tersebut, 7 kabupaten sebagian wilayahnya bersentuhan dengan pesisir laut Jawa, sedangkan 6 kabupaten lainnya dan 1 kota berada di daerah dataran rendah, namun sedikit berbukit serta dilalui oleh aliran sungai-sungai besar Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Mentaya, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan lain-lain.

Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam istilah asing disebut catchmen area, river basin, atau watershed. DAS ialah suatu wilayah daratan secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan hujan yang jatuh diatasnya baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran bawah tanah ke sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DAT/Catchmen area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Asdak. C, 2007, Hidrologi dan Pengelolaan DAS , Fak. Geografi, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta)

Daerah Aliran Sungai Kahayan ini dihuni oleh etnis Melayu (Banjar) dan etnis Dayak dikenal sebagai masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai didominasi oleh etnis Dayak yang berprofesi sebagai petani peladang berpindah dan perambah hutan. Hutan tropis dengan luas 134,937,25 atau mencapai 87,87% dari luas wilayah Kalimantan Tengah sangat dikenal sebagai penghasil kayu. Hutan inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman. kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir relatif lebih mudah dijangkau bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai.


a.       Rumah Lanting
Rumah lanting ialah salah satu rumah tradisional Suku Dayak yang dibangun diatas air (Riwut, 1979). Rumah-rumah lanting ini dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, struktur pondasi dan konstruksi materialnya. Rumah lanting ditinjau dari fungsinya: (1) sebagai rumah; (2) sebagai usaha karamba ikan; (3) sebagai toko/warung; dan (4) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya rumah lanting sudah digunakan sejak dulu sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok, hal ini bisa dipahami karena pada waktu itu transportasi air merupakan transportasi utama di Kota Palangkaraya. Pada saat itu sungai sebagai orientasi tempat bertemu antara suku dan sampai saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu seperti terlihat pada Gambar 5. dan sekaligus usaha karamba  (Hamidah, 2012 hal: 264).

Bahan bambu rumah lanting digunakan sebagai pondasi di Kota Palangkaraya didatangkan dari daerah hulu Barito (Buntok, Muara Teweh dan Puruk Cahu). Bambu-bambu ini dikirim ke Palangkaraya melalui transportasi sungai (perahu/kelotok). Bambu yang dijadikan pondasi umumnya dipasang dengan cara menyatukan beberapa bambu (biasanya antara 80-100 batang) menjadi satu dan di bagian ujungnya diikat menggunakan ban mobil bekas. Ban bekas dipilih memiliki sifat yang mudah didapat (limbah kendaraan), memiliki kekuatan dan kelenturan/elastis dan sifat karet yang tahan lama jika terendam air.

b.       Rumah Panggung
Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangkaraya dikenal dengan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).Struktur Permukiman kawasan tepian Sungai Kahayan ini merupakan struktur kawasan pertumbuhan awal Kota Palangkaraya dengan tipologi permukiman yang berhubungan langsung dengan sungai dan dahulu transportasi yang menjadi urat nadi yang menghubungkan antara daerah adalah sungai. Tipologi permukiman sebagai tempat bermukim dengan ciri rumah tinggal berupa rumah rakit (Raft House) dan rumah panggung (Pillar House) sebagai tipologi bangunan yang kaya dengan desain arsitektur lokal . Dalam tahap perkembangannya tingkat kepadatan hunian tertinggi adalah rumah rakit (Raft House) pada Gambar 5 dan Gambar 6 ialah rumah panggung (Pillar House).Pada Rumah Panggung ini dihuni masyarakat asli Suku Dayak dan Suku Banjar sebagai tempat tinggal dan tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mata pencaharian nelayan dan pembuat perahu (Hamidah, 2012 hal: 260-266).
                                                 
2. Pola Sirkulasi Lokal/Jalan Titian Kayu
Titian ialah jalur sirkulasi penumpang yang digunakan masyarakat tepian sungai untuk mencapai rumah-rumah, menuju sungai ataupun sebagai jalur interaksi masyarakat di dalam kampung kawasan tepian sungai. Titian pada permukiman tepian sungai dibuat dengan konstruksi susunan papan ulin lebar sekitar 1-2 meter. Papan-papan ini dipasang berjajar menumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan langsung ke sungai dengan tinggi tiang sekitar 1-3 meter.
Pada beberapa kasus, terdapat titian-titian yang berukuran lebar biasanya digunakan masyarakat antara lain: (1) sebagai ruang publik untuk tempat berkumpul dan berinteraksi; (2) sebagai ruang bermain anak; (3) ruang olahraga/badminton; dan (4) pada saat-saat tertentu seperti kenduri atau rapat warga digunakan untuk ruang duduk/ruang rapat.     

4. Pola Sirkulasi Ruang Bersama/Dermaga
Secara umum pengertian dermaga ialah sarana tambatan bagi alat transportasi sungai/air (kapal, kelotok, jukung dan speed boat) bersandar untuk bongkar/muat barang atau embarkasi/debarkasi penumpang. Dermaga pada permukiman tepian sungai yang berukuran besar biasanya dibangun dengan kosntruksi panggung. Dermaga jenis ini dilengkapi dengan ruang tunggu bagi pengantar dan penjemput serta tersedia fasilitas kantin dan KM/WC. Material yang digunakan sebagian besar menggunakan kayu (lantai/dinding/rangka), ataupun variasi dengan beton (lantai beton, dinding kayu, dan struktur rangka kombinasi beton dan kayu).
Dermaga besar yaitu Dermaga Rambang  terdiri dari dua material dan konstruksi: (1) seluruhnya dengan konstruksi panggung; (2) sebagian menggunakan konstruksi panggung dan sebagiannya lagi menggunakan struktur rakit/lanting. Dermaga yang dibangun dengan konstruksi panggung menyediakan tangga-tangga bertiang untuk penumpang dari dan menuju area tambat kapal/perahu dan speed boat. Sedangkan dermaga yang dibangun dengan konstruksi tiang dan konstruksi rakit, menggunakan jembatan sebagai penghubung antara ruang tunggu pengantar maupun ruang kedatangan. Ruang-ruang yang berada dibagian berpanggung berfungsi untuk ruang pelayanan/administrasi, ruang tunggu, dan KM/WC ada juga yang menambahkan dengan fungsi kantin pada ruangan ini. Sedangkan ruang pada bagian struktur rakit biasanya digunakan sebagai ruang peralihan penumpang yang baru turun atau akan naik ke kapal, serta ruang untuk bertambatnya kapal.

           
KESIMPULAN DAN SARAN
Pola sirkulasi kawasan ini memegang peran penting dalam upaya pengembangan kawasan perkotaan. Namun demikian penelitian dan tulisan ilmiah yang berkaitan mengenai pengembangan pola sirkulasi kawasan dengan karakteristik arsitektur pola sirkulasi kawasan tepian sungai dengan kontekstual budaya masyarakat asli akrab dengan sungai, memiliki peranan dalam perkembangan kota, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi model pengembangan transportasi sungai antara lain: (a) Faktor lingkungan lahan basah; dan (b) faktor budaya sungai. Faktor lingkungan lahan basah terlihat pada penggunaan konstruksi tiang/panggung dan konstruksi rumah rakit (terapung) untuk mengatasi kondisi lahan basah yang selalu tergenang air. Faktor budaya sungai terlihat pada kuatnya ketergantungan masyarakat dalam menggunakan sungai. Sungai berfungsi sebagai hunian/rumah lanting yang memiliki peranan, yaitu: (a) sebagai rumah; (b) sebagai usaha karamba ikan; (c) sebagai toko/warung; dan (d) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu sekaligus usaha karamba.

Penelitian bidang arsitektur dan perencanaan kota selama ini hanya dilihat secara regional saja, belum menyentuh pada amatan pola sirkulasi dan permukiman tepian sungai yang berperan penting pada perkembangan kota-kota di Indonesia, terlebih lagi penelitian belum sampai pada pemahaman kompleksitas permasalahan sirkulasi dan kondisi permukiman di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan model penelitian pola sirkulasi secara aplikatif dan praktif mudah diimplemtasi untuk penataan pola sirkulasi dan pelestarian maupun perbaikan permukiman, khususnya kawasan tepian sungai perkotaan di Indonesia. dalam mengelola kawasan tepian sungai dan tetap menjaga keaslian kawasan. Pada akhirnya pemahaman akan keberadaan pola sirkulasi dalam kawasan tepian sungai ini memegang peranan penting untuk melihat perkembangan fisik perkotaan, kedepan diharapkan menjadi alternatif solusi transportasi.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar