Rabu, 02 September 2015

Sungai dan Permukiman tepian sungai

 SUNGAI DAN PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI
1. Fungsi Sungai
Kawasan Tepian Sungai ialah wilayah daratan sebagai Daerah Tangkapan Air (DAT/ catchmen area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2007). Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 1 ialah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sungai menurut Mulyanto (2007) berdasarkan sifatnya terbagi atas: (1) hulu sungai berarus deras (turbulent atau torrential river); (2) sungai alluvial; (3) sungai pasang surut (tidal river); (4) muara sungai (estuary); (5) mulut sungai (tidal inlet); dan (6) delta sungai yaitu dataran yang terbentuk oleh sedimentasi di muara sungai Bagian-bagian sungai dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (i) bagian hulu berfungsi sebagai produksi, dimana rawan terjadi longsor; (ii) bagian tengah berfungsi sebagai transportasi sebagai aliran limpasan (overland flow); dan (iii) bagian hilir merupakan bagian datar sebagai penerima aliran air permukaan (run off) penampung terjadinya banjir, adanya deposisi dan sedimen.
Sungai merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, berkembang secara turun-temurun. Sungai berfungsi antara lain: (1) sebagai tempat usaha; (2) sebagai pemenuhan hidup sehari-hari (mencari ikan, mencuci, mandi); (3) sebagai tempat tinggal; (4) sebagai sarana transportasi (pelabuhan); (5) pertukaran kebutuhan perdagangan (barter); (6) sebagai penghubung hasil produksi pertanian daerah pedalaman; dan (7) pusat kebudayaan dan kerajaan di Indonesia (Karnowihardjo et al, 2004: 103; Baiquni, 2004).
2.      Klasifikasi Permukiman
Awalnya rumah-rumah tumbuh di kawasan tepian sungai karena pemukim mendekati sumber daya bagi kegiatan mereka sehari-hari disebut Kampung. Kampung merupakan model embrio kota. Sungai berfungsi sebagai sarana transportasi dan akses ke sumber daya merupakan salah satu faktor pendorong tingginya laju pertumbuhan hunian kawasan tepian sungai lebih cepat menjadi kawasan perkotaan, baik secara fisik, demografis, lokasi geografis maupun sisi ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain. 
Berdasarkan aspek perkembangan permukiman secara hierarkis permukiman (settlement) menurut Barlow (1971) dalam Yunus (2013) ditinjau secara fisik, terdiri atas: (1) skala mikro ialah semua tipe tempat tinggal manusia baik bangunan tunggal (gubuk/single hatch/single houses); (2) skala messo yaitu kelompok bangunan/rumah jamak (rumah-rumah petani/kawasan perumahan/farm houses/plural houses); dan (3) skala makro ialah rumah-rumah jumlahnya sampai ribuan tempat tinggal.
Roberts (1996) menjabarkan perkembangan permukiman mulai dari satu pondok petani (farmstead), berkembang menjadi beberapa pondok membentuk satu dusun (hamlet), beberapa dusun membentuk satu desa (village), beberapa desa membentuk satu kota kecil (town), beberapa kota membentuk satu kota menengah (city), beberapa kota menengah membentuk satu kota besar (large city/metropolis), beberapa kota besar membentuk kota sangat besar (millionaire city),  dan selanjutnya beberapa kota sangat besar membentuk kota megapolis.     
3.      Permukiman Tepian Sungai

Permukiman kampung di kawasan tepi air menurut Respati (1999; Umar Lubis, 2009) mempunyai pola permukiman yang berbeda, yaitu:
(1)   Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena struktur fisik pantai (pantai landai dan ombak tenang lebih dominan sebagai lokasi hunian dibanding pantai curam);

 (2) Kampung di sepanjang sungai. Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan menggunakan sungai sebagai sarana transportasi, pola linier mengikuti pola aliran sungai.
 Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di Kalimantan ada delapan macam (Budi Prayitno, 2005), yaitu: (1) sungai membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah kota danau; dan (8) kota pantai berdekatan dengan sungai. Denpaiboon (2001) telah melakukan penelitian mengenai eksistensi permukiman tepian sungai di Thailand. Hasil penelitian Denpaiboon menganalisis proses transformasi berdasarkan kurun waktu tertentu dan membandingkan transformasi permukiman pada kawasan rural dan urban. Denpaibon menjabarkan tipomorfologi permukiman tepian sungai terbagi dua, yaitu: (1) permukiman di atas air (rumah rakit/rumah lanting); dan (2) permukiman di atas tanah (rumah tiang/rumah panggung). Hasil penelitian direkomendasikan sebagai model kebijakan permukiman kawasan tepian sungai yang eksistensinya mendukung keberadaan Kota Thailand.
Penelitian permukiman tepian sungai dilakukan oleh Sarwadi (2002). Lokus penelitian pada permukiman di tepian Sungai Musi, Kota Palembang. Palembang merupakan salah satu kota tepian sungai yang memiliki sejarah permukiman tertua di Indonesia yaitu sejak berjayanya Kerajaan Sriwijaya. Kota Palembang dialiri banyak anak sungai yang kemudian bermuara di Sungai Musi. Sungai Musi membelah kota Palembang menjadi dua bagian yaitu daerah seberang hulu dan daerah seberang hilir. Pada mulanya permukiman tepi sungai di Kota Palembang cukup tertata rapi berdasarkan aturan Sultan dalam mengatur lokasi permukiman. Setelah masa kemerdekaan, tidak dapat diketahui secara pasti kapan permukiman tepi sungai mulai menjadi padat dan kumuh. Penelitian Sarwadi (2002) bertujuan memperlihatkan karakteristik permukiman tepian sungai yang berbeda dengan permukiman tepian sungai di Pulau Jawa. Permukiman tepian Sungai Musi mempunyai dua tipe, yaitu: (1) Rumah lanting yaitu rumah terletak di badan sungai, terapung di atas air (raft houses); dan (2) Rumah panggung terletak di tepian sungai yang kondisi lokasinya tergantung dari pasang surut air.
Fokus penelitian Sarwadi (2002) pada upaya perbaikan tata letak rumah, eksplorasi pada kondisi ekonomi-sosial masyarakat, dan perbaikan permukiman oleh masyarakat lokal dalam memelihara lingkungan termasuk perbaikan infastruktur dan sosial-ekonomi. Rekomendasi program perbaikan permukiman tepian sungai dan implikasi untuk perencana dan kebijakan melalui: (1) Program perbaikan permukiman ke bangunan semi permanen; (2) perbaikan permukiman memfasilitasi penduduk untuk mendapatkan kerja yang lebih baik; (3) ruang bersama merupakan penyatuan penduduk dengan lingkungan di kawasan tepian sungai.