Kamis, 26 September 2013

Pemahaman Permukiman Informal

Di dalam berbagai literatur istilah pemukiman informal merupakan sebutan lain dari Informal settlement adalah suatu areal permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat  sangat miskin dan tidak mempunyai kepemilikan lahan legal. Oleh sebab itu mereka menempati lahan-lahan kosong ditengah kota baik yang berupa lahan privat maupun lahan umum.(Srinivas, 2005). Sedangkan menurut peraturan kepemilikan tanah, pembangunan tanah dan bangunan terdapat definisi perumahan yang lebih mengarah kepada pasar perumahan (housing market). Secara garis besar  terbagi dalam dua sektor, yaitu: 1) Sektor Formal; dan 2) Sektor Informal. Sektor Formal mengacu pada pembangunan perumahan yang dibangun berdasarkan beberapa peraturan pembangunan dan melalui prosedur legal. Sedangkan sektor informal mengacu pada pembangunan tanpa melalui peraturan membangun dan tanpa melalui prosedur legal.
Berdasarkan sektor formal ini sistem produksi dan pengadaan perumahan dibagi dua sistem pengadaan, yaitu: 1) pertama, perumahan yang diproduksi oleh pemerintah umumnya tidak ada motivasi mencari keuntungan; dan 2) kedua, perumahan yang diproduksi oleh perusahaan swasta/pengembang swasta adalah penyedia perumahan dengan motivasi mencari keuntungan. Sektor formal hanya mampu menyediakan 20% kebutuhan rumah secara umum, sedangkan di negara-negara berkembang hanya mampu memfasilitasi 10% saja kebutuhan perumahan. Sementara sektor informal lebih banyak berperan  dalam pengadaan perumahan dengan berbagai proses dan kompleksitas penyediaaanya mampu menyediakan sekitar 90% perumahan terutama di negara-negara berkembang. Di dalam permukiman informal ini banyak istilah yang digunakan, antara lain: low-income settlements, Spontaneous, Unplanned, Squatter, Slum, Popular settlement, Self-help housing etc.(Herrle, i 981). Berikut akan dijabarkan perbedaan pengertian dari permukiman informal ini.   
1.  Slum dan Squatter
Pemahaman arti Slums and Squatter settlement pada prinsipnya adalah sama yaitu tentang pemukiman masyarakat miskin, hanya saja kata "Slums" lebih mengacu pada kondisi atau keadaan suatu permukiman masyarakat miskin, sedangkan "Squatter settlement" lebih mengacu pada legalitas permukiman masyarakat miskin. (UNCHS, 1982). Masyarakat yang tinggal pada permukiman informal merupakan masyarakat miskin yang sering dianggap menjadi penyebab keburukan kota dan keadaan ini membuat masyarakat tersebut menjadi terpinggirkan oleh kehidupan masyarakat kota. Dengan keadaan tersebut hasil karya arsitektur yang diciptakan oleh masyarakat miskin di permukiman informal secara spontan sering kali dikenal sebagai hasil karya arsitektur terpinggirkan atau marginalized architecture.
Slums adalah sebuah area “terlupakan” dari sebuah wilayah perkotaan, dimana kondisi perumahan dan standar kehidupan berada dalam tingkat terendah. Penggunaan istilah Slums mulai dari permukiman padat populasi di pusat kota yang mulai mengalami degradasi sampai menyebut permukiman informal, permukiman spontan yang  tidak memiliki legalitas.(Miah, et.al,p. 18, 1999). Slums dibedakan melalui tipe permukimannya: (i) squatter settlements; (ii) illegal commercial suburban land division; (iii) occupation of overcrowded (pada kepadatan bangunan di pusat kota). (Lasserve, 2006).
UN-Habibat mendefinisikan “Slums” sebagai berikut: “Slums” as contiguous settlements where its habitats have insecure residential status, inadequate access to safe water, inadequate access to sanitation and other basic infrastructure and services, poor structural housing quality and overcrowding.The lack of security of tenure, or protection among evictions is pointed as a main common characteristic of these kinds of settlements.
World Bank mendefinisikan: “Slums” range from high density, squalid central city tenements to spontaneous squatter settlements without legal recognition or rights, sprawling at the edge of the city. Some are more than fifty years old; some are land invasions just underway. Slums have various names, Favelas, Kampungs, Bidovilles, Tugurios, yet share the same miserable living conditions.
Hardoy dalam bukunya yang berjudul “Squatter Settlement" mengatakan bahwa masyarakat miskin mendemonstrasikan kecerdikannya dalam mengembangkan lingkungan perumahan mereka yang baru dan dalam mengorganisasikan konstruksi perumahan, walaupun pemerintah menghargai mereka sebagai ilegal, sering kali jauh lebih sesuai dengan kebutuhan lokal mereka, income lokal mereka, keadaan iklim lokal di sekitar mereka, dan bahan dasar lokal mereka dari pada standard-standard legal dan official yang disyaratkan oleh pemerintah. (Hardoy and Satterthwaite, 1989).
Menurut Cody (1996) menulis dalam artikel Journal 'Habitat Debate' ada banyak hal positif yang dapat dipelajari dari perkembangan marginalized architecture  bertolak belakang dari gambaran kekumuhan yang sering kali diungkapkan oleh banyak orang.
"By regarding the poor as partners and not as problems, community responsibility, accountability, and development can be returned to the community itself, and a more responsive and sustainable system of urban environmental management implemented. To regard the poor not as a problem but a solution requires a radical change in thinking, and in expectation, but result in a society which is far more equitable and sustainable? It benefits the urban environment, and it benefits every section of urban society.

2.Spontaneous Settlement
Hernando de Soto (1991) pakar yang mengkaji perumahan di Meksiko menyebutkan “Spontaneous settlement” pada permukiman informal di Meksiko. Menurut de Soto (1991), permukiman informal menjalani proses yang semula dari menduduki tanah secara gradual oleh rumah tangga yang datang satu persatu, ataupun secara serempak oleh kelompok besar, kemudian membangun rumah dan pada akhirnya berharap mendapatkan hak milik atas tanah dan bangunan. Kondisi ini terbalik bila dilihat dari prosedur permukiman formal yang mulai dari hak atas tanah, meminta izin dan kemudian membangun rumahnya.

3. Popular Settlement
Popular settlement ialah Permukiman informal dilihat secara garis besar melingkupi kesatuan lingkungan permukiman terdiri dari pola rumah, tipe hunian dan tanah. Pengertian ini mengacu pada keseluruhan tempat tinggal (tempat berlindung, fasilitas sosial dan infrastruktur) dilihat dari keunikan masyarakat yang dilatar belakangi oleh keunikan setting lokasi. Banyak nama digunakan untuk popular settlement antara lain: Villas miserias (Argentina); Favelas, Alagados (Brazil); Callampas (Chile); Barriadas, Barrios piratas, Tugorios (Colombia).

4. Self-Help Housing
Self-help housing ialah pengertian umum yang digunakan dalam sektor perumahan di dunia sebagai konsep yang merujuk pada kemampuan masyarakat miskin untuk bertahan/berlindung bagi diri dan keluarganya. Self-help housing merupakan perumahan bagi individu atau kelompok rumah tangga menyediakan perumahan tanpa akses maupun tanpa adanya kontrol dari industri perumahan, tanpa dukungan finansial, ataupun tanpa campur tangan administasi dari pemerintah untuk membuat legalitas perumahan.

5. Autonomous Housing (Housing by People)
John Turner (1992), pakar yang mengkaji perumahan di Amerika Latin menamakan “barriadas” pada permukiman informal di Lima, Peru sebagai permukiman otonom (autonomous housing) karena terbangun oleh individu atau keluarga tanpa campur tangan dari otoritas kota atau otoritas lainnya. Ada banyak sebutan lain dari informal settlement selain pemukiman informal, dan sebutan tersebut dipergunakan oleh para ahli untuk menjelaskan sikap dan pendekatan terhadap perkembangan permukiman masyarakat miskin.  Gagasan J.F.C. Turner (1976) dalam bukunya Housing by People mengakui bahwa rakyat sebenarnya mampu mengadakan perumahannya sendiri dengan baik sesuai ukuran dari pemilik-pemakainya. 

6.Pengertian Perumahan Swadaya (Low-income Housing)
Perumahan swadaya (Low-income settlement) istilah yang digunakan oleh pemerintah sebagai sebutan perumahan informal untuk masyarakat berpendapatan rendah. Pembangunan perumahan secara swadaya umumnya dilakukan oleh masyarakat berpendapatan rendah, tanpa melalui prosedur pembangunan yang formal. Pengadaan hunian secara swadaya merupakan aset pengadaan rumah yang besar di Indonesia maupun di berbagai wilayah di Asia pada umumnya. Perumahan swadaya sekarang ini dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan cara yang legal formal, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju.

7. Pengertian Urban Kampung (Kampung Kota)
Kampung kota (Urban Kampung) merupakan istilah untuk permukiman informal di Indonesia. Pengertian Kampung kota (permukiman  informal) ini merupakan penjabaran dari karakteristik unik kawasan permukiman di Indonesia berdasarkan lokasi geografi wilayah yang tidak ditemukan pada kota-kota di negara lain. Secara umum kampung kota (permukiman informal) adalah suatu permukiman ilegal dibangun secara tidak formal (mengikuti ketentuan-ketentuan kota yang bersangkutan), memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, serta kurangnya sarana dan prasarana, sehingga kesehatan menjadi masalah utama. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa permukiman kampung kota adalah istilah untuk permukiman rakyat yang berupa kantung-kantung perumahan yang padat di kota-kota besar di Indonesia (Raharjo, 2010). Tetapi pengertian yang lebih tepat menurut Wiryomartono (1995) suatu permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota.    
Kampung kota ini sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Kampung kota mulanya terbentuk sebagai kampung pribumi di kota-kota pada masa kolonian.  Menurut Wiryomartono (1995),  Permukiman Informal (kampung kota) di Indonesia di pengaruhi oleh kebudayaan dan tatacara kehidupan yang dibawa kaum kolonial berpengaruh pula terhadap perkembangan kota-kota di Indonesia. Pola dan karakter kolonial dicerminkan dari adanya bagian kota yang disebut daerah “Elite” dan bagian kota yang merupakan permukiman padat dinamakan “Kampung”.

Kamis, 13 Juni 2013

PELESTARIAN ARSITEKTUR KOTA 
Buku Ajar Arsitektur Kota ini akan diuraikan teori pelestarian arsitektur kota yang diarahkan untuk mengerti berbagai informasi pengetahuan tentang teori-teori pelestarian arsitektur kota secara terperinci. Pada materi teori pelestarian arsitektur kota ini akan dijabarkan mengenai konsep pelestarian kota, pengenalan teori pelestarian arsitektur kota, elemen pelestarian Kota dan teori pembentuk image kota. Pada materi ini diharapkan mahasiswa akan mampu mengerti teori pelestarian arsitektur kota dan mengimplementasikan pada arsitektur kota-kota di Indonesia melalui analisa penanda kota dan elemen pelestarian kota.

5.1. KONSEP PELESTARIAN KOTA DAN PERKEMBANGANNYA
Konsep pelestarian arsitektur dan bangunan kuno kota telah dicetuskan sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu pada tahun1877 tatkala William Moris mendirikan Lembaga Pelestarian Bangunan Kuno (Society for the protection of ancient buildings). Sebelum itu, pada tahun 1700, Vanbrugh selaku arsitek dari Istana Bleinheim Inggris memang telah mulai merumuskan konsep pelestarian, akan tetapi masih belum melembaga. Peraturan dan Undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan dan pengawasan dalam bidang konservasi untuk melindungi lingkungan dan bangunan bersejarah dibuat pada tahun 1882, dalam bentuk Ancient Monuments Act. Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan bangunan kuno adalah Monumenten Ordonantie Stbl. 283/1931 (selanjutnya disebut dengan M.O. 1931).
Mula-mula konsepnya terbatas pada pelestarian atau dikenal dengan istilah Preservasi (Preservation), yaitu dengan mengembalikan atau membekukan monumen tersebut persis seperti keadaan semula di masa lampau. Dalam M.O. 1931 Pasal 1 disebut bahwa yang dianggap monumen dalam peraturan ini:
a)    Benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisanya yang pokoknya berumur 50 tahun atau memiliki masa langgam yang sedikit-dikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.
b)    Benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi.
c)    Situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa didalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada point a dan point b.
Hal ini jelas menekankan bahwa pusat perhatian lebih banyak ditekankan pada peninggalan arkeologis. Mengenai batas umur yang ditentukan lebih dari 50 tahun, sebetulnya nenek moyang kita juga secara arif bijaksana telah mengatakan “kalau sudah melewati separuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan.” Sasaran pelestarian saat itu meliputi mulai dari dokumen tertulis, lukisan, patung, perabot, kemudian meningkat ke bangunan candi, keraton, rumah kuno.
Konsep pelestarian arsitektur kota kemudian berkembang, tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda arkeologis saja melainkan juga lingkungan, taman, dan bahkan kota bersejarah.Untuk negara berkembang atau daerah tertentu yang memiliki keunikan kaidah perancangan arsitektur dan kekhasan gaya hidup, bahkan diajukan sebagai konservasi berswadaya yang menyangkut falsafah dan konsep dasar perancangan arsitektur tersebut akan memandu setiap perkembangan baru agar tetap selaras dengan lingkungan khas yang telah menjadi jati diri dan refleksi dari masyarakatnya.

5.2. PENGENALAN PELESTARIAN ARSITEKTUR KOTA
Pelestarian arsitektur kota yang umumnya dikenal dengan istilah konservasi merupakan payung dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981.
Beberapa batasan pengertian tentang istilah-istilah dasar yang disepakati dalam Piagam Burra, dijabarkan dibawah ini:
a)        Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
b)        Preservasi adalah pelestarian suatu tempat seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran.
c)         Restorasi/Rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
d)     Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru.
e)         Revitalisasi/Adaptasi alah merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai. Fungsi yang sesuai maksudnya adalah kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis, atau yang hanya memerlukan sedikit dampak minimal.
f)          Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.
Beberapa perangkat atau metoda yang di gunakan tetap memperhatikan kondisi dan juga sifat permasalahan yang di hadapi oleh kawasan tersebut. Mohammad Danisworo merumuskan beberapa perangkat pelaksanaan peremajaan kota antara lain:

1.     Redevelopment (pembangunan kembali)
Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari sebagian atau seluruhnya kawasan kota setelah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya.

2.  Gentrifikasi
Upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan  kota melalui upaya peningkatan kwalitas lingkungan, namun tanpa menimbulkan suatu perubahan yang cukup berarti dari struktur kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan memperbaiki ekonomi suatu kawasan kota dengan mengandalkan kekuatan pasar dengan cara memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada, meningkatkan kualitas berbagai sarana melalui berbagai program rehabilitasi atau renovasi tanpa melakukan pembongkaran yang berarti.

3.  Rehabilitasi
Pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur kawasan kota yang telaah mengalami kerusakan, degradasi atau kemunduran, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagai mana mestinya.

4.  Preservasi
Pada dasarnya merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat atau melestarikan, monument, bangunan atau lingkungan pada kondisi yang  ada dan menjaga proses perusakan.

5.  Konservasi
Upaya mempertahankan upaya untuk memelihara suatu tempat sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan. Atau dengan kata lain konservasi merupakan upaya melestarikan , melindungi serta memanfaatkan sumberdaya suatu tempat, seperti gedung-gedung  tua yang memiliki nilai sejarah atau budaya, kawasan dengan nilai budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan kepadatan penduduk yang ideal, cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya.

6.  Renovasi
Adalah upaya untuk merubah sebagian atau beberapa bagian dari bangunan tua, terutama bagian dalamnya (interior), dengan demikian bangunan tersebut dapat beradaptasi untuk menampung fungsi/ kegunaan baru atau masih untuk fungsi yang sama  namun dengan persyaratan yang baru atau modern.

7.  Restorasi
Upaya untuk mengendalikan suatu tempat pada kondisi asalnya yang telah hilang tanpa menambah unsur-unsur baru kedalamnya.

8.  Rekonstruksi
Merupakan upaya untuk mengendalikan kondisi suatu tempat pada kondisi atau membangun kembali suatu tempat sedekat mungkin dengan wujud semula yang diketahui, rekonstruksi biasanya dilakukan untuk mengadakan kembali tempat-tempat yang telah rusak atau bahkan telah hampir punah sama sekali.

5.3.   ELEMEN PELESTARIAN KOTA
Menurut Indriastjario dalam tulisannya Pengembangan Konsep Ruang Komersial Rekreatif Pada Penataan Kawasan Bubakan, Kota Semarang.Vol 1. Hal 36. 2003  dikutif dari Prof. Eko Budiharjo, M.Sc, manfaat yang dapat di peroleh dari upaya pelestarian, antara lain :

1.     Konservasi
Menurut Prof. Budiharjo, M.Sc., dalam The Burra Charter for The Conservation of Places of Cultural Signifigance 1981, tentang preservasi dan konservasi suatu tinjauan teori kota, secara eksplisit diperoleh batasan pengertian konservasi yang mencakup seluruh proses kegiatan mulai dari preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi sampai revitalisasi.

1. Pelestarian memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat berkesinambungan, memberi kaitan berarti dengan masa lalu, serta member pilihan untuk tinggal dan bekerja disamping lingkungan modern.
2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti saat ini, pelestarian lingkungan lama member suasana permanent yang menyegarkan.
3. Pelestarian memberi pengalaman psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat, menyentuh, merasakan buktibukti sejarah.
4. Pelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan histories tentang Pengembangan Konsep Ruang Komersial Rekreatif masa lalu dan melambangkan keterbatasan kehidupan manusia.
5. Pelestarian lingkungan lama adalah salah satu asset komersial dalam kegiatan wisata internasional.

2.     Revitalisasi
Revitalisasi ialah suatu bentuk metoda konservasi untuk menghidupkan kembali suatu kawasasn bengan pengembangan fungsi baru tanpa meninggalkan nilai-nilai lama dan jiwa tempat tersebut. Sedangkamn menurut Ir. Harry Miarsono, M.Arch., revitalisasi adalah merubah suatu tempat agar dapat digunakan unutk fungsi yang lebih sesuai, dimana tidak menuntut perubahan drastic atau hanya memerlukan sedikit dampak. Suatu area pelestarian tidak harus menjadi area yang mati tetapi kegiatan social, ekonomi, dan budidayanya justru perlu dikembangkan dan ditingkatkan secara selektif dan bangunan baru harus diadaptasi dengan bangunan kuno yang ada.

Obyek yang dapat direvitalisasi antara lain peninggalan kebudayaan yang merupakan materi alam yang berupa peninggalan arsitektur, sejarah dan arkeologi. Oleh karena itu lingkup revitalisasi adalah peninggalan kebudayaan atau artefak dan lingkup buatan yang meliputi bangunan. Program revitalisai mencakup strategi yang akan diterapkan pada masing-masing obyek yang memiliki potensi-potensi untuk divitalkan kembali dalam konteks kawasan. Dari strategi vitalisasi tersebut akan menentukkan obyek-obyek mana yang akan direstoasi, rekonstruksi, preservasi, adaptasi/revitralisasi, maupun yang ditambahkan dalam usaha menghidupkan, memvitalkan, dan mengaktifkan kembali kawasan tersebut sehingga dapat berkembang menjadi asset wisata budaya.

Kamis, 30 Mei 2013

PENGERTIAN PERMUKIMAN INFORMAL


Sebelum membahas kompleksitas permasalahan permukiman informal adalah argumentasi pertama kali yaitu merumuskan definisi permukiman informal sebagai pengertian standar secara umum dalam penelitian ini untuk mengantisipasi kesalah persepian dalam pengertian. Usaha-usaha untuk menemukan dan mengklasifikasikan permukiman informal di negara-negara berkembang, meskipun akan menemui berbagai kendala karena konsep dan teori ini sangat komplek dan beragam berdasarkan konteks fisik, sosial, budaya dan ekonomi.
Di dalam berbagai literatur istilah pemukiman informal merupakan sebutan lain dari Informal settlement adalah suatu areal permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat  sangat miskin dan tidak mempunyai kepemilikan lahan legal. Oleh sebab itu mereka menempati lahan-lahan kosong ditengah kota baik yang berupa lahan privat maupun lahan umum.(Srinivas, 2005). Sedangkan menurut peraturan kepemilikan tanah, pembangunan tanah dan bangunan terdapat definisi perumahan yang lebih mengarah kepada pasar perumahan (housing market). Secara garis besar  terbagi dalam dua sektor, yaitu: 1) Sektor Formal; dan 2) Sektor Informal. Sektor Formal mengacu pada pembangunan perumahan yang dibangun berdasarkan beberapa peraturan pembangunan dan melalui prosedur legal. Sedangkan sektor informal mengacu pada pembangunan tanpa melalui peraturan membangun dan tanpa melalui prosedur legal.
Berdasarkan sektor formal ini sistem produksi dan pengadaan perumahan dibagi dua sistem pengadaan, yaitu: 1) pertama, perumahan yang diproduksi oleh pemerintah umumnya tidak ada motivasi mencari keuntungan; dan 2) kedua, perumahan yang diproduksi oleh perusahaan swasta/pengembang swasta adalah penyedia perumahan dengan motivasi mencari keuntungan. Sektor formal hanya mampu menyediakan 20% kebutuhan rumah secara umum, sedangkan di negara-negara berkembang hanya mampu memfasilitasi 10% saja kebutuhan perumahan. Sementara sektor informal lebih banyak berperan  dalam pengadaan perumahan dengan berbagai proses dan kompleksitas penyediaaanya mampu menyediakan sekitar 90% perumahan terutama di negara-negara berkembang. Di dalam permukiman informal ini banyak istilah yang digunakan, antara lain: low-income settlements, Spontaneous, Unplanned, Squatter, Slum, Popular settlement, Self-help housing etc.(Herrle, i 981). 
UN-Habibat mendefinisikan “Slums” sebagai berikut: “Slums” as contiguous settlements where its habitats have insecure residential status, inadequate access to safe water, inadequate access to sanitation and other basic infrastructure and services, poor structural housing quality and overcrowding.The lack of security of tenure, or protection among evictions is pointed as a main common characteristic of these kinds of settlements.
Popular settlement antara lain: Villas miserias (Argentina); Favelas, Alagados (Brazil); Callampas (Chile); Barriadas, Barrios piratas, Tugorios (Colombia); Barrios (Equador); Bustees (India); Kampung (Indonesia); Barong-baronghs (Philippines); Gececondus (Turkey). (Abrams, 1966; Palmer and Patton, 1988)
.


Jumat, 24 Mei 2013


TEORI PERMUKIMAN (EKISTICS THEORY)
Pemikiran awal tentang permukiman atau dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah ekistics telah dimulai sejak tahun 1940-an. Namun, sebagai ilmu, ekistics baru ditulis lebih sistimastis oleh Constantinos A. Doxiadis sebagai orang pertama yang mengembangkan Ilmu Ekistics, pada tahun 1967. Doxiadis tertarik untuk menulis ilmu permukiman karena perhatiannya yang besar pada masyarakat kurang beruntung dan tinggal di permukiman kumuh. Dia mengatakan: “…my thought take me to those who have suffered so much because of the lack of proper settlements, and have forces me to open my eyes to this great problem.. …they were always the same men, women and children for they were always human beings”(Doxiadis, 1967 dalam Winarso, 2013).
CA Doxiadis adalah orang Yunani yang lahir pada tahun 1913 dari keluarga yang berperan besar dalam memukimkan kembali pengungsi di Yunani di antara dua perang dunia. Ayah Doxiadis adalah seorang dokter anak yang menduduki jabatan menteri yang bertanggung jawab pada pemukiman kembali para pengungsi, kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat. Doxiadis mendapat pendidikan formal di Yunani dan menyelesaikan sarjana Arsitektur di Technical University of Athens pada tahun 1935. Ia kemudian bekerja dan meneruskan sekolah di Berlin-Charlottenburg University. Mendapatkan gelar Dr. Ing. Dengan judisium penghargaan pada tahun 1936. Doxiades meninggal pada tanggal 28 Juni 1978. Dua puluh lima tahun setelah Doxiadis meninggal, permasalahan permukiman masih saja ada. Di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah permukiman semakin
berat, terutama ketika pengaruh informasi global memasuki kehidupan manusia di permukiman kumuh di perkotaan. Ada perasaan termarjinalkan di kalangan pemukim permukiman kumuh dan merasa ada gap yang besar antara the have dan the have not. Usaha Doxiadis mendapatkan preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan permukiman belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Namun, paling tidak, usahanya memberi tambahan pendekatan pemikiran yang diakui keabsahannya dalam wacana akademik.
Ekistics sebagai suatu pendekatan untuk menjelaskan terjadinya atau untuk menganalisis apa yang terjadi dalam suatu permukiman merupakan pendekatan yang netral yang dapat digunakanuntuk menganalisa apa yang terjadi dalam permukiman dimana saja. Sebagai ilmu untuk melakukan preskripsi, kelihatannya Ekistics masih harus banyak meminjam ilmu lain yang sudah ada dan bahkan sudah lebih mapan. Di Indonesia perkembangan penataan ruang yang didalamnya termasuk penataan permukiman, pada tiga dasa warsa terakhir banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang lebih dulu berkembang di Barat, dibawa ke Indonesia oleh ahli dan birokrat Indonesia yang belajar di sana. Dalam keadaan itu, pendekatan Ekistics dibawa ke Indonesia dan dipakai secara sengaja maupun tidak dalam perencanaan tata ruang untuk permukiman.
Ekistics sebagai ilmu membicarakan mengenai perkembangan permukiman yang semakin membesar mulai dari unit yang paling kecil (room, dwelling, dwelling group, small neigborhood) hingga metropolis, megalopolis, urban region, urban continent sampai ke Eucomenopolis (kota dunia). Upaya harus terus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang semakin kompleks akibat pertambahan penduduk yang tinggi. Dalam kaitan ini, teori Ekistics masih relevan untuk dipakai sebagai salah satu alat untuk menjelaskan dan untuk mencarai preskripsi perencanaan di Indonesia di masa depan bersama teori lain yang sudah lebih mapan.
Doxiadis (1969) menyatakan bahwa permukiman adalah tempat manusia hidup dan berkehidupan. Oleh karenanya, suatu permukiman terdiri atas isi (the content) yaitu manusia dan tempat fisik manusia tinggal yang meliputi elemen alam dan buatan manusia (the container). Dalam pengertian ini, Doxiadis mengatakan, permukiman tidak hanya digambarkan dalam tiga demensi saja, tetapi harus empat dimensi, oleh karena ada unsur manusia yang hidup dan selalu berubah karakter dan budayanya dalam kerangka waktu. Lebih jauh, isi dan tempat dapat dibagi lagi menjadi lima elemen utama yang disebut sebagai elemen Ekistics: (1) Alam (Nature), memberikan pondasi tempat permukiman terbentuk atau dibentuk dan kerangka yang di dalamnya suatu permukiman dapat berfungsi; (2) Manusia (Man); (3) Masyarakat (Society);(4) Bangunan/ Struktur Ruang (Shells), suatu struktur yang di dalamnya manusia dapat hidup  dan berkehidupan sesuai fungsinya; (5) Jejaring (network), baik yang alamiah maupun yang buatan yang memfasilitasi berfungsinya suatu permukiman (misalnya Jalan, listrik, air).
            Kelima elemen itu bekerja bersama dalam suatu permukiman. Argumentasi Doxiadis mengenai perlunya ilmu yang khusus mempelajari permukiman adalah karena selama ini ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan permukiman masih terpisah-pisah. Termasuk didalamnya: ilmu ekonomi, imu-ilmu sosial, politik, teknik dan kebudayaan. Ilmu-ilmu ini menjelaskan lima elemen utama ekistics tersebut di atas secara parsial.Ekistics menawarkan kombinasi dari ilmu-ilmu tersebut menjadi kesatuan pemikiran, sehingga dikatakan Ekistics adalah ilmu mengenai permukiman. 

Rabu, 17 April 2013


BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

2.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah
2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah di Dunia
Sejarah terbentuk rumah awalnya dimungkinkan karena adanya keinginan manusia untuk menetap di suatu tempat melalui proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional. Dahulu rumah (houses) secara fisik berfungsi sebagai tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan angin maupun serangan binatang buas. Bagi masyarakat primordial, rumah merupakan tempat berlindung untuk menghindar dari bahaya-bahaya rohani yang mengancam (Maslow, 1943). Pada perkembangan selanjutnya rumah tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga berfungsi untuk kebutuhan kognitif dan keindahan. Berikut ini fungsi awal rumah utamanya sebagai: (1) Kebutuhan fisiologis (Physiological needs), yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup; (2) Kebutuhan keamanan (Safety needs), (3) Kebutuhan Afiliasi (affiliation needs), yaitu rasa memiliki; (4) Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain (esteem needs); (5) Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri (actualization needs); dan (6) Kebutuhan kognitif dan keindahan (cognitive and beauty needs).

Sejarah rumah menurut Rapoport adalah: “House form is not simply the result of physical forces or any single causal factor, but it is the consequence of a whole range of socio-cultural factors seen their broadest term”. Artinya pola rumah adalah tidak sesederhana dari hasil bentukan fisik atau dari faktor tunggal lainnya, tetapi ini sebagai konsekuensi dari keseluruhan nilai dari faktor sosial-budaya yang terlihat lebih luas cakupannya.   
Rumah sebagai suatu proses, perubahan lingkungan binaan tentunya tidaklah sesederhana seperti diagram diatas, akan tetapi berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial-budaya masyarakat. Rapoport (1969) membedakan faktor-faktor pembentuk rumah (hunian) ke dalam dua golongan, yaitu: (1) faktor primer (socio-culture factors); dan (2) faktor sekunder (modifying factors). Rumah sebagai lingkungan hunian merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan sosial-budaya seperti kepercayaan, hubungan kekeluarga organisasi sosial, serta interaksi sosial antar individu. Dengan mengacu pada terminologi “genre de vie” (Max Sorre), yang didalamnya tercakup kultural, spiritual dan aspek sosial (Rapoport, 1969) mengemukakan bahwa: “Houses and settlements are the physical expression (socio-culture) of the genre de vie (basic need and family), and this constitute their symbolic nature (symbolic and cosmic).”  Artinya rumah dan permukiman adalah ekspresi (sosial-budaya) dari kebutuhan yang sangat mendasar dan ini merupakan wujud simbolis (simbolis dan kosmologis); Secara diagramatik dijabarkan oleh Rapoport (1969) perkembangan rumah melalui faktor-faktor yang menentukan bentuk rumah sebagai lingkungan binaan (hunian) terangkum dalam diagram berikut:


 
2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Rumah di Indonesia
Sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun oleh bangsa Belanda telah membentuk pola perkembangan rumah di Indonesia dikenal dengan istilah simbiosa atau dapat disebut tiga arus pokok tradisi, (Marbun, 1979) yaitu: (1) rumah tradisi Indonesia (pribumi); (2) rumah tradisi Belanda (kolonial Eropa); dan (3) rumah tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh penduduk China, Arab dan India. Ketiga bentuk rumah ini berkembang sesuai arahan Peraturan Tata Kota Pemerintah Kolonial Belanda yang berperan paling dominan dalam pembentukan wajah arsitektur kota Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, Peraturan Tata Kota yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk rumah juga diterapkan pada peraturan pola permukiman di Indonesia, dimana terdiri atas tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979), antara lain: (1) Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa memiliki memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai; (2) Permukiman orang Pribumi atau disebut Daerah “Kampung” dihuni oleh orang Indonesia Asli memiliki ciri tidak teratur, sarana jalan sempit, tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah permukiman orang pribumi ini karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada pekarangan; dan (3) Permukiman orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan atau pusat perdagangan.
Rapoport (1969) dalam bukunya House, Form and Culture menjelaskan sejarah rumah ditinjau melalui pendekatan environmental determinism menekankan bahwa bentuk dan pola rumah merupakan konsekuensi yang wajar atau respon fragmatis terhadap situasi iklim dan lingkungan tempat rumah tersebut dibangun. Pandangan ini juga menekankan faktor bahan-bahan lokal dominan dalam menentukan bentuk dan pola rumah.  Artinya bentuk dan pola rumah dipengaruhi oleh bahan lokal untuk membentuk suatu bentuk rumah tertentu. Bentuk rumah tradisional sangat bervariasi dipandang sebagai konsekuensi wajar dari  tersedianya material setempat. Rumah panggung, sebagai respon terhadap situasi tempat yang lembab, berfungsi juga untuk mengantisipasi bahaya binatang liar, serta konsekuensi wajar dalam penggunaan kayu sebagai material yang tersedia secara lokal. (Haryadi dan Setiawan, 2010).

2.2. Sejarah dan Perkembangan Perumahan
2.2.1. Sejarah dan Perkembangan Perumahan di Dunia
Sejarah perumahan sesungguhnya berkaitan erat dengan industrialisasi, aktivitas ekonomi dan pembangunan, dimana keberadaan perumahan ditentukan oleh aspek hukum, politik, sosial dan administrasi. Pembangunan perumahan dilakukan besar-besaran di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 yaitu masa revolusi Industri, dimana pembangunan rumah ditujukan untuk perumahan Industri.
Perkembangan perumahan pada tahun 1950 mulai marak di Eropa, ini dalam rangka membangun kembali perumahan yang telah hancur oleh Perang Dunia II. Model perumahan di perkotaan menurut Turner (1971) merupakan perumahan untuk pekerja industri (perumahan sektor informal/ migran). Pembangunan perumahan berdasarkan lamanya mereka bekerja/ tinggal di kota (migration stages), dibagi menjadi (Turner, 1971 dalam Sudaryono, 1994): (1) Adaptor, adalah mereka yang tinggal di kota kurang dari 1 tahun (termasuk para magang yang dibawa oleh saudara/ teman/ atas inisiatif sendiri datang ke kota) dan mencoba beradaptasi dengan sistem dan peta kegiatan perekonomian kota (khususnya sektor informal); (2) Competitor, adalah mereka yang tinggal di kota dengan menumpang pada saudara atau kawan yang telah terlebih dahulu bekerja dan setelah 5 tahun mereka tinggal bersama saudara atau teman, kemudian memiliki keterampilan dan pengalaman di bisnis sektor informal, mereka akan memisahkan diri untuk mengoperasikan sendiri usahanya; (3) Successor, adalah mereka para migran yang telah tinggal di kota selama 5 tahun sampai dengan 15 tahun. Pendapatan mereka telah mencapai rata-rata pendapatan penduduk kota dengan memiliki prospek bisnis yang jelas dan telah mampu hidup wajar di kota serta cenderung memiliki tempat tinggal yang tetap; dan (4) Identity Seekers, adalah mereka yang telah tinggal di kota lebih dari 15 tahun dan memiliki trade mark di sektor informal. Mereka mulai mencari pengakuan status sosial di tengah-tengah masyarakat, baik dalam wujud rumah maupun benda-benda yang dimiliki. 
Pada tahun 1950 Charles Abrams, ahli perumahan PBB menuangkan pengalamannya dalam sebuah buku mengenai perkembangan perumahan di dunia berdasarkan penjelajahan di 40 negara sebagai seorang ahli perumahan PBB perumahan. Charles Abrams (1950) menyatakan rumah hanya dipandang sebagai sebuah wadah fisik. Charles Abrams (1950) menyimpulkan bahwa perumahan bukan hanya lindungan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan komunitas dan keseluruhan lingkungan sosial.
Perkembangan perumahan di awal tahun 1980-an ditandai dengan pengakuan bahwa perumahan ditujukan untuk membantu masyarakat miskin perkotaan. Pada periode ini program akan lebih fokus pada penyediaan elemen dasar perumahan. Elemen dasar perumahan ini merupakan penyediaan proses perumahan secara fundamental, antara lain: Tanah, material bangunan, teknologi, tenaga kerja, manajemen dan keuangan. Contohnya melalui program perbaikan“Site and Services” dan “Upgrading”, melakukan perbaikan penyediaan atau akses untuk mendapatkan tanah, akan lebih membantu masyarakat tersebut. Kebijakan perumahan dilihat sebagai memfasilitasi pada penyediaan perumahan dan lebih efektif meningkatkan kebutuhan permintaan, sehingga produksi rumah bisa stabil. (UNHCS, 1984: Doebele, 1987; Dowall, 1988).
Pada tahun 2002 melalui rekomendasi Habitat II tentang Global Strategy for Shelter (GSS)  sejalan dengan idenya JFC. Turner (1976) adalah dukungan dari Bank Dunia yaitu konsep pemikiran terkait hak masyarakat untuk mendapatkan perumahan yang layak (Adequate Shelter for all). Kebijakan ini memfokuskan pada usaha memberdayakan pihak swasta dan masyarakat agar lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan perumahan tidak hanya menyediakan rumah secara fisik tetapi perlu memperhatikan perumahan sebagai upaya untuk peningkatan kualitas masnusia di masa mendatang.

2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Perumahan di Indonesia
Abidin Kusno (2012) adalah salah seorang pemerhati masalah perumahan di Indonesia. Ia memaparkan dalam bukunya berjudul Politik Ekonomi Perumahan Rakyat tentang perkembangan perumahan di Indonesia. Perumahan di Indonesia di mulai sejak periode pra-kemerdekaan (1934) pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dikenal dengan istilah perumahan rakyat (Volkswoningen) yaitu rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Penanganan masalah perumahan rakyat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan program pemerintah Hindia Belanda, secara berkesinambungan belum ada. Pemerintah Hindia Belanda hanya memfokuskan perhatian dan pengaturan pengadaan perumahan diarahkan untuk mendukung kelancaran tugas-tugas administrasi pemerintah, hal ini diwujudkan dengan adanya peraturan perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling atau BWR) tahun 1934.
Perkembangan perumahan pada masa pasca kemerdekaan (1950) adalah Kongres I Peroemahan Rakjat Sehat pada tanggal 25 -30 Agustus 1950 di Solo dibuka oleh Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden R.I. dalam pidatonya menyataan bahwa: “Memang Tjita-tjita (untuk membangun rumah rakjat) tidak akan tertjapai dalam setahoen doe tahoen, tidak akan terselenggara semoenya dalam 10 ataoe 20 tahoen. Tetapi dalam 40 tahoen ataoe setengah abad pasti dapat ditjapai, apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dan beroesaha dengan penoeh kepertjayaan.” Kongres I ini telah menghasilkan tiga rekomendasi, yaitu: (1) mengajukan usul kepada Pemerintah agar di tiap-tiap provinsi perlu didirikannya perusahaan pembangunan perumahan rakyat; (2) perlu merumuskan norma dan syarat-syarat perumahan rakyat standar minimum; (3) mengusulkan kepada pemerintah agar segera membentuk badan/ lembaga untuk menangani pembangunan pembiayaan perumahan rakyat, yang penyediaan dananya dijamin dalam anggaran belanja pemerintah setiap tahun.
Masa Orde Baru tahun 1966, telah membawa perubahan di berbagai bidang tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Stabilitas di bidang politik, sosial dan ekonomi merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan nasional secara terencana dan bertahap, sebagai bentuk pengisi kemerdekaan. Landasan kebijaksanaan di bidang perumahan di masa Orde Baru ditandai secara politis dengan ketetapan MPRS secara singkat menyebutkan: “supaya diintensifkan pembangunan perumahan perumahan rakyat sehat”. Berbagai langkah mulai dirintis  kembali ke arah program perumahan, salah satunya adalah Lokakarya Nasional I Direktorat Cipta Karya mengenai Perumahan di Bandung tahun 1968 menjelang persiapan PELITA-I. Perhatian Pemerintah terhadap perumahan dilanjutkan dengan diselenggarakannya Lokakarya  Nasional II Kebijakan Perumahan pada tanggal 4 – 6 Mei 1972 di Jakarta dengan tema Kebijaksanaan Perumahan dan Pembiayaan Pembangunan. Implementasi rekomendasi dari hasil Lokakarya antara lain: Pembentukan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN); Pendirian Perum Perumnas; Penugasan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Kredit Perumahan Rakyat (KPR) untuk rumah sederhana yang dibangun oleh Perum Perumnas dan/atau Developer Swasta; pendirian Pusat Informasi Teknik Bangunan (PITB); Sejalan dengan lokakarya tersebut, pihak swasta membentuk organisasi Real Estate Indonesia (REI).
Pemikiran mengenai perumahan tidak sekedar sebagai wadah fisik bagi manusia, juga sebagai peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia diangkat sebagai tema Lokakarya Nasional III diselenggarakan pada tanggal 16 sampai 18 November 1992 di Jakarta yaitu Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berkelanjutan. Implementasi lokakarya nasional ketiga ini adalah diundangkannya UU No. 4 Tahun 1992 dan mulai dirintisnya dinas perumahan di Daerah, serta dirintisnya sistem pembiayaan perumahan melalui kelompok. Sedangkan penyediaan tanah melalui KASIBA masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hasil lokakarya nasional akan menjadi masukan strategis dalam penjabaran kebijakan nasional bidang perumahan dan permukiman ke dalam kebijakan operasional sesuai dengan tantangan dan permasalahan perumahan di masa depan.
Perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat tinggal” merupakan tema Kongres  Nasional Perumahan Rakyat II, di Jakarta yang diprakarsai oleh Menteri Perumahan M. Yusuf As’yari. Kongres nasional ini merupakan tonggak sejarah Perumahan Rakyat Indonesia yang mengacu pada Kongres Perumahan I tahun 1950 (Abidin Kusno, 2012). Kongres II merupakan upaya merealisasikan cita-cita bangsa Indonesia pada saat Kongres I tahun 1950. Beberapa langkah baru memang diumumkan dalam Kongres 2009, misalnya, perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat tinggal” sebagaimana dipaparkan oleh Oswar Mungkara dari Direktorat Permukiman dan perumahan Bappenas pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU No. 11 tahun 2005, sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan atas perumahan. Dengan mengembangkan “hak bertempat tinggal” menjadi “hak asasi manusia” maka pemenuhan hak ini dapat diukur enam indikator atas rumah (menurut Pasal 11 CESCR) yaitu: (1) sifat kepemilikan hak (security of tenure); (2) ketersediaan pelayanannya (availability of service); (3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability); (4) kelayakannya sebagai tempat tinggal (habitability); (5) adanya peluang bagi semua orang (accesibility); dan (6) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy).     
  
2.3. Perkembangan Permukiman
2.3.1.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Dunia
Permukiman sebagai awal terbentuknya kota, secara pastinya orang atau ahli sejarah tidak dapat menentukan kapan atau tahun berapa permukiman pertama di dunia didirikan. Dalam sejarah kehidupan manusia, permukiman atau embrio kota dimulai ketika warga masyarakat mulai mengakhiri hidup mengembara dan mulai menetap pada suatu tempat tertentu dalam segala aspek kehidupan yang semakin meluas. Namun tidak semua bentuk kehidupan tersebut secara otomatis berubah menjadi kota.
Berdasarkan sejarah diketahui bahwa permukiman atau embrio kota telah terdapat di Mesopotamia, di muara atau di pinggir Sungai Tigris dan Euprat. Menurut ahli sejarah di Asia seperti di India dan Tiongkok sejak ribuan tahun sebelum masehi telah terdapat bekas-bekas permukiman tua yang digali dan direkonstruksi para arkeolog. Demikian juga di Mesir dan sisa kebudayaan Maya dan Inka di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Permukiman tertua yang sampai sekarang eksis ialah kota Damaskus di Syria. Namun permukiman tua di Asia, Afrika Utara, dan Amerika keadaannya tidak sama dengan keadaan permukiman/ embrio kota ketika kejayaan kebudayaan Yunani dan Romawi. Embrio kota atau permukiman tua di Yunani dan Romawi mempunyai pusat kota atau kota inti dan umumnya penduduknya padat serta merupakan jantung kehidupan baik politik maupun ekonomi. Model embrio kota/ permukiman awal di Yunani dan Romawi ini ternyata diikuti kemudian oleh kota-kota di Eropa abad pertengahan sampai sekarang. Model ini juga diterapkan oleh penguasa daerah di luar Eropa: Asia, Afrika dan Amerika sebagai daerah jajahan (Marbun, 1979).
Model embrio kota atau permukiman awal di Asia terkonsentrasi dipinggir-pinggir sungai, dimana ini merupakan suatu awal terbentuknya kota. Pendekatan geografis-demografis melihat permukiman sebagai pusat kota yaitu tempat pemusatan penduduk, walaupun jumlah penduduk tidak dapat dinyatakan secara eksak. Pendekatan dari segi ekonomis melihat kota sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi dan perdagangan juga kegiatan industri serta tempat perputaran uang. (Marbun, 1979).

2.3.3.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Indonesia
Sejarah permukiman di Indonesia, telah dikenal jauh sebelum masa-masa kolonial dalam bentuk formal maupun informal, tetapi tidak mudah menemukenali awal permukiman ini. Di awali masuknya Kebudayaan Hindu dan Islam telah memperkenalkan peraturan dan kebiasaan untuk perencanaan fisik permukiman yang merupakan percampuran antara mitologi dan kepercayaan/religi (Rapoport, 1971). Kota di Jawa dan Bali menunjukan peninggalan seperti itu (Nas, 1982). Suatu kebiasaan yang juga terdapat di belahan dunia lain (Mumford, 1961) yang dapat digolongkan menjadi perencanaan yang ortogonal (Friedman, 1987). Perencanaan permukiman terstruktur mungkin baru mulai terlihat sekitar tahun 1800-an dengan mulainya penjajahan di Indonesia. Permulaan abad ke-18 ketika VOC (Pemerintah Kolonial Belanda) menguasai hampir seluruh kepulauan Indonesia, terjadi perubahan pola permukiman terutama di perkotaan. Pemerintah kolonial mulai membangun permukiman untuk orang Belanda yang mengikuti tradisi Barat, sementara orang Indonesia asli tinggal di kampung.
Merujuk pada sejarah bangsa Indonesia, selama 350 tahun dijajah Belanda, pola perkembangan kota Indonesia merupakan simbiosa atau dapat disebut tiga arus pokok tradisi, yaitu: tradisi Indonesia (pribumi), tradisi Belanda dan tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh penduduk China. Ketiga tradisi ini berkembang sendiri-sendiri dengan arahan dari Pemerintah kolonial yang diatur dalam peraturan tata kota. Pemerintah Kolonial Belanda adalah yang berperan paling dominan dalam pembentukan wajah kota dengan pengaruh Eropa. Pada pembentukan wajah kota di Indonesia konsep yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda terdiri dari tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979), antara lain: (1) Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa memiliki ciri prasarana jalan yang paling teratur, bersih dan sistem perumahan yang ideal, diikuti fasilitas infrastruktur yang memadai, contohnya permukiman di daerah Menteng, di Jakarta dan daerah Dago di Bandung; (2) Permukiman orang Pribumi atau disebut Daerah “Kampung” dihuni oleh orang Indonesia Asli. Daerah ini memiliki ciri tidak teratur, sarana jalan sempit, tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah permukiman orang pribumi ini karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada pekarangan; (3) Permukiman orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan atau pusat perdagangan. Permukiman ini memiliki ciri bangunannya dua lantai, dimana lantai pertama berfungsi sebagai tempat berdagang dan lantai kedua berfungsi sebagai tempat tinggal. Secara keseluruhan pusat pertokoan ini teratur, memanjang sepanjang jalan raya dan memiliki sarana lalu lintas yang baik serta memiliki fasilitas listrik, air ledeng dan sambungan telepon.  
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi waktu sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak mendapati satu kota atau bekas kota atau permukiman tua yang berarti. Bentuk permukiman yang ada atau embrio kota adalah permukiman di tepi pantai/ kota pantai atau bandar sebagai pusat lalu lintas perdagangan, seperti: Palembang (masa kejayaan Sriwijaya), Barus, di Pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Pada pusat-pusat kerajaan Nusantara juga dijumpai bekas kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan seperti Yogyakarta, Solo, dan Bali. Kota-kota Nusantara sebelum kedatangan Belanda terbatas berfungsi sebagai tempat lalu lintas perdagangan atau  hanya pusat pemerintahan.     
Kota-kota di Nusantara dikenal dengan sebutan kota pesisir atau kota sungai, kemudian berkembang kota-kota baru di kawasan daratan. Kota sungai memiliki keunikan dibanding kota daratan, sehingga ini merupakan potensi yang bisa dikembangkan dalam pembentukan citra suatu kota.
Permukiman sebagai bagian dari lingkungan binaan manusia, merupakan bentuk tatanan kehidupan yang didalamnya mengandung  unsur fisik spasial (sebagai wadah aktivitas manusia) dan unsur non-fisik dalam bentuk tata nilai (value of socio-culture) serta akumulasi aktivitas manusia. Rumah sebagai hasil bentukan arsitektur mencakup dua dimensi, yaitu: dimensi fisik spasial dan dimensi sosial-budaya masyarakat (Rapoport, 1969).
Permukiman di Indonesia sebagai lingkungan binaan manusia, proses dan komponen penyusunannya tidak dapat lepas dari masalah kondisi sosial budaya masyarakatnya, karena pada hakikatnya wujud fisik rumah sebagai lingkungan binaan merupakan manifestasi kehidupan non-fisik yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Permukiman sebagai hasil perwujudan fisik kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan dan menjadi satu kesatuan sistem budaya yang tercermin pada kompleks aktivitas berpola dalam suatu keseluruhan sistem sosial masyarakat disebut “kebudayaan fisik” (Physical culture: Koentjaraningrat; 1979). Menurut Koentjaraningrat (1979), ada tiga wujud kebudayaan yakni: (1) sistem kebudayaan (cultural system) berupa sistem nilai, norma-norma dan perangkat aturan;  (2) sistem sosial (social system) sebagai suatu kompleks aktivitas; dan (3) sistem fisik (physical system) sebagai benda hasil karya manusia. Secara diagramatik wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat (1979) digambarkan sebagai berikut:

Pemahaman sejarah permukiman untuk mewadahi manusia sebagai mahluk berbudaya. Permukiman mengandung pengertian sebagai wadah/ ruang bagi manusia untuk menciptakan manusia yang berbudaya, dimana kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam pengertian permukiman hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakatnya. Seperangkat nilai yang menjadi landasan dalam lingkup permukiman menentukan sikap terhadap dunia luarnya, dimana langkah-langkah kegiatan yang harusnya dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatannya mengacu pada faktor religi, kultural dan perilaku (Haryadi dan Setiawan, 2010).

2.3.4.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Kalimantan Tengah
Menurut catatan sejarah perkembangan kota-kota di Kalimantan Tengah berada di tepi sungai yang tumbuh secara alami. Selain sungai-sungai yang tumbuh secara alami, terdapat juga kanal-kanal (saluran air/anjir) dan anak sungai yang banyak dibuat oleh Pemerintah Belanda pada zaman penjajajahan. Kanal-kanal/ saluran air/ Anjir dengan maksud sebagai antisipasi banjir, mengingat kondisi topografi kota-kota di Kalimantan Tengah yang labil akan serangan banjir pasang air laut. Fungsi sungai juga menyimpan catatan sejarah lahirnya kota-kota di Kalimantan Tengah antara lain Kota Kapuas, Kota Muara Teweh, Kota Buntok awal permukiman berada di tepi Sungai Barito, Kota Palangkaraya, Katingan dan Pulang Pisau tumbuhnya permukiman berada di tepi Sungai Kahayan, serta Kota Sampit, Kuala Pembuang, dan Pangkalanbun permukiman awal berada di tepi Sungai Mentaya. (Tjilik Riwut, 1979).  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah dan perkembangan kota telah menjelaskan terbentuknya kota-kota di Kalimantan Tengah diawali dari sungai yang banyak mengaliri kotanya.
Kota-kota di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kota yang lekat dengan julukan Kota Sungai. Ada sekian banyak sungai yang membelah kota ini antara lain Sungai Jelai, Arut, Kumai, Lamandau, Mentaya, Katingan, Kahayan, Kapuas, Barito dan Sebangau, semuanya bermuara di Laut Jawa dengan panjang hingga mencapai 900 km serta  panjang terlayari mencapai 720 km. Selain sungai-sungai tersebut di atas, terdapat beberapa anjir (sungai buatan), yaitu Anjir Kalampan, Anjir Basarang, Anjir Serapat, Anjir Tamban, Anjir Baturaya, Anjir Terusan, Anjir Nusa dan Anjir Simpur yang mempengaruhi perkembangan permukimman yang tergantung dari kondisi sungai tersebut. (DAS Kahayan, 2007)