Jumat, 25 Desember 2015

PERMUKIMAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
KAMPUNG PAHANDUT, KOTA PALANGKARAYA
Noor Hamidah
Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Palangkaraya
Abstrak
Pembangunan berkelanjutan ialah peningkatan kualitas hidup manusia dan menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Pembangunan kota terfokus pada perubahan lingkungan, namun belum menyentuh pembangunan manusia dan lingkungan permukimannya. Perkembangan tanah untuk lahan bermukim hanya mengikuti mekanisme pasar, seperti permukiman di Kampung Pahandut, Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya. Permukiman ini berkembang sejak tahun 1894 yaitu merupakan perkampungan penduduk Dayak Ngaju. Kegiatan masyarakat Dayak Ngaju ialah petani ladang berpindah di sepanjang sungai Kahayan.  Sungai berfungsi antara lain: transportasi, tempat bermukim, mata pencaharian “pasha mandulang” (tambang emas dan intan), dan fungsi sosial budaya. Kelurahan Pahandut awalnya sebuah kampung kecil, kini berkembang pesat menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Penelitian ini bertujuan menganalisa permukiman berkelanjutan berwawasan lingkungan di Kampung Pahandut Kota Palangkaraya. Metode penelitian menggunakan metode gabungan (mixed use method) antara kualitatif dan kuantitatif. Analisa penelitian mengacu pada teori permukiman (human settlement theory) yaitu menganalisa empat aspek permukiman antara lain: alam (nature), lindungan (shell), jaringan (network), dan manusia/masyarakat (man). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aspek permukiman tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan. Cara hidup masyarakat Dayak Ngaju tanggap pada kelestarian lingkungan  dan budaya gotong royong dalam di lingkungan permukiman.


Kata kunci: permukiman, pembangunan berkelanjutan, lingkungan

PENDAHULUAN
Permukiman sebagai suatu wadah atau suatu wujud fisik budaya saling mempengaruhi dengan isinya, dan bertautan dengan lingkungan alami sebagai tempatnya. Ada 2 aspek penting mengenai isi dan lingkungan alami yang perlu dipahami dari permukiman Indonesia, yaitu pertama, isi meliputi dinamika perubahan demografis, sosial ekonomi dan budaya. Kedua, lingkungan alami meliputi sumberdaya alam dan fisik spasial Geografi keruangan didalamnya telah mengalami perubahan dan perkembangan, karena terjadinya perubahan sosio-ekonomi. (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).

Salah satu kekhususan Indonesia adalah lingkungan alamnya yang merupakan kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari sekitar 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5.210 km dari timur ke barat dan dihuni oleh sekitar 300 suku bangsa dengan 583 bahasa dan dialek. Terdiri dari 33 Propinsi dengan keaneka-ragaman sifat  lingkungannya dan terdapat berbagai tempat permukiman pedalaman yang penduduknya lebih berorientasi dan mempunyai akses ke daerah pedalamannya, antara lain melalui sungai-sungai yang menghubungkan penduduk di hulu dan hilir sungai, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Kubu di  Sumatera. (Indonesia Heritage, 1992). 

Tautan lingkungan alami dan sosio-budaya yang beraneka ragam merupakan keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu daerah. Lingkungan alami di Indonesia secara sosio-budaya dengan keanekaragaman tinggi, yang tercermin dari banyaknya suku bangsa, ribuan pulau memiliki sifat ekologi dan kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda. Kesemuanya itu terwujud dalam keaneka ragaman sifat permukiman, dari yang modern dengan heterogenitas dan pertumbuhan tinggi sebagaimana ibukota Jakarta, sampai pada permukiman dari suku-suku terasing dan kehidupan tradisional tetap bertahan tidak tersentuh oleh perubahan. Kemampuan permukiman itu untuk berlanjut berbeda-beda dan perkembangannya akan memiliki makna berbeda karena tempat yang berbeda. (Indonesia Heritage, 1992).    

Tautan lingkungan alami tercermin melalui karakteristik fisik ini merupakan sifat alami, dimana sungai memiliki keunikan lingkungan berwujud permukiman tradisional sebagai respon sifat lingkungannya. Permukiman tradisional masyarakat Indonesia ditinjau dari segi historis banyak berada di daerah aliran sungai karena akses transportasi. Akses daerah aliran sungai merupakan karakteristik permukiman awal sebagai cikal bakal tumbuh dan berkembangnya suatu kota, selaras dengan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh kota di Indonesia yang memiliki banyak anak sungai dengan muaranya adalah sungai Kahayan. Tipologi mayoritas masyarakatnya bermukim dan menggantungkan hidup pada sungai. Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangka Raya dikenal dengan sebutan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).

 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu:
Identifikasi studi pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik dari kawasan kota tepian sungai. Studi pola sirkulasi dan pola ruang kawasan tepian sungai sebagai upaya konservasi eko-wisata tepian sungai di masa mendatang. Berdasarkan tujuan di atas, manfaat penelitian ini ialah:
1.       Untuk mengenal wujud pola sirkulasi kawasan tepian Sungai Kahayan dan merekomendasikan modal pola sirkulasi kawasan tepian sungai yang unik sebagai wisata sungai. Model pola sirkulasi bermanfaat membuka akses menuju ke kawasan pelestarian  arsitektur bangunan tua dan menuju wisata tepian sungai sebagai aset andalan Kota Palangkaraya di masa mendatang.
2.       Untuk mengenal wujud arsitektur kawasan tepian sungai dan merekomendasikan menjadi kawasan andalan wisata arsitektur bangunan tua melalui kajian bentuk hunian kawasan tepian Sungai Kahayan, sehingga mendapatkan gambaran potensi pengembangan konsep pola bentuk hunian yang akan di Konservasi di kawasan Tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian ekplorasi kualitatif lapangan (A qualitative Exploratory Research) berdasarkan ekplorasi data lapangan (field observation) nilai historis kawasan melalui survei, wawancara dan identifikasi potensi kawasan tepian Sungai Kahayan. Kawasan yang menjadi kasus penelitian adalah potensi transportasi sungai dan pola sirkulasi tepian sungai Kahayan Kota Palangkaraya. Data-data dikumpulkan melalui literature review dan pengamatan lapangan (field observation) atas aspek fisik lingkungan buatan yang mendukung potensi transportasi sungai antara lain: sarana transportasi sungai (jalan, titian, jembatan), dermaga dan pelabuhan serta rumah tinggal. Selanjutnya data dianalisis dengan metode komparasi dan deskriptif-interpretatif berbagai aspek kehidupan. 

Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi pada kawasan permukiman informal tepian sungai Kahayan Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 2). Sungai Kahayan ialah sungai yang memiliki panjang 450 m2 dan lebar 100m2. Luas Wilayah administratif Kota Palangkaraya 2.400 km² lahan terbangun ± 226,67 km² dengan jumlah penduduk ± 210.600 jiwa (56.000 KK). Batas administrasi meliputi: 1) Utara: Kabupaten Gunung Mas; 2) Selatan: Kabupaten Pulang Pisau; 3) Timur: Kab. Gunung Mas; dan 4) Barat: Kabupaten Katingan.  

Kajian empirik kawasan permukiman informal ini berada sepanjang tepian sungai Kahayan dalam lingkup Kota Palangkaraya. Lokasi penelitian ialah pada tingkat Kelurahan akan diambil sampel model per RW sebagai sampel pola sirkulasi kawasan.

Sungai Kahayan merupakan sungai besar yang awal mulanya merupakan jalur transportasi antar kota maupun daerah di Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, sungai tersebut masih berfungsi sebagai penghubung ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau jalur jalan darat. Sungai-sungai di Kalimantan Tengah termasuk Sungai Kahayan merupakan sarana transportasi yang dominan dan sungai sebagai urat nadi perekonomian daerah. Kawasan Bantaran Sungai Kahayan ini pada musim tertentu seperti pada musim hujan akan terlihat seolah-olah berdiri diatas air (terapung). Pada musim kemarau, kawasan permukiman ini akan terlihat berdiri di atas daratan. Kondisi eksisting ini merupakan keunikan yang terdapat di kawasan selain pola permukiman juga pola sirkulasi yang berbeda pola sirkulasi Jalan titian kayu (wood bridge), Jalan tanah (unpavement) dan Jalan cor beton memiliki variasi lebar 2 – 3 meter. 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola dan Struktur Kota Tepian Sungai
Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di Kalimantan (Prayitno, 2005) ada delapan macam, yaitu: (1) sungai membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah kota danau; dan (8) kota pantai yang berdekatan dengan sungai. Karakteristik ini tentunya berbeda dengan satu dan lainnya. Selain pola permukiman, untuk morfologi  kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu: (1) Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi; (2) Kampung di sepanjang sungai.
Karakteristik pola permukiman, untuk morfologi kampung pedesaan di tepi air menurut Respati (1999 dalam Umar Lubis, 2009) membagi dua bagian pola permukiman, yaitu:
(1)          Kampung di pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena adanya potensi dan kendala lingkungan. Pantai landai dengan ombak tenang akan lebih dominan dipakai sebagai lokasi hunian dibanding dengan pantai curam. Struktur fisik lingkungan dominan berperan sebagai lokasi;
(2)          Kampung di sepanjang sungai. Pola perkampungan di sepanjang sungai di pedesaan menggunakan sungai sebagai sarana transportasi, mempunyai kecenderungan pola yang linier dengan orientasi mengikuti pola aliran sungai.
Temuan hasil penelitian berikut ini merupakan pola sirkulasi di kawasan permukiman tepian sungai Kahayan beserta infrastruktur pendukung transportasi sungainya. Berdasarkan data dari hasil pengamatan di lapangan, pola pembentuk sirkulasi ialah kawasan permukiman beserta infrastruktur pendukung di kawasan tepian sungai Kahayan ditemukan antara lain: (Hamidah, 2013).

1. Pola Permukiman Pembentuk Pola Sirkulasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 total luas wilayah Kalimantan Tengah adalah 153,567 km²(15.356.700 Ha) atau 1,5 kali luas pulau Jawa dengan jumlah penduduk 1.935.669 (hampir 2 juta jiwa) atau 553.057 Kepala Keluarga. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk adalah 12 jiwa/ km². Kemudian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 Provinsi Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 95 kecamatan, 123 kelurahan, 1.183 desa dan 66 buah kedemangan. Dari ke 13 kabupaten tersebut, 7 kabupaten sebagian wilayahnya bersentuhan dengan pesisir laut Jawa, sedangkan 6 kabupaten lainnya dan 1 kota berada di daerah dataran rendah, namun sedikit berbukit serta dilalui oleh aliran sungai-sungai besar Sungai Barito, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, Sungai Mentaya, Sungai Arut, Sungai Lamandau, dan lain-lain.

Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam istilah asing disebut catchmen area, river basin, atau watershed. DAS ialah suatu wilayah daratan secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan hujan yang jatuh diatasnya baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran bawah tanah ke sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DAT/Catchmen area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Asdak. C, 2007, Hidrologi dan Pengelolaan DAS , Fak. Geografi, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta)

Daerah Aliran Sungai Kahayan ini dihuni oleh etnis Melayu (Banjar) dan etnis Dayak dikenal sebagai masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai didominasi oleh etnis Dayak yang berprofesi sebagai petani peladang berpindah dan perambah hutan. Hutan tropis dengan luas 134,937,25 atau mencapai 87,87% dari luas wilayah Kalimantan Tengah sangat dikenal sebagai penghasil kayu. Hutan inilah yang menjadi sumber kehidupan bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman. kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pesisir relatif lebih mudah dijangkau bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan hulu-hulu sungai.


a.       Rumah Lanting
Rumah lanting ialah salah satu rumah tradisional Suku Dayak yang dibangun diatas air (Riwut, 1979). Rumah-rumah lanting ini dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, struktur pondasi dan konstruksi materialnya. Rumah lanting ditinjau dari fungsinya: (1) sebagai rumah; (2) sebagai usaha karamba ikan; (3) sebagai toko/warung; dan (4) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya rumah lanting sudah digunakan sejak dulu sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok, hal ini bisa dipahami karena pada waktu itu transportasi air merupakan transportasi utama di Kota Palangkaraya. Pada saat itu sungai sebagai orientasi tempat bertemu antara suku dan sampai saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu seperti terlihat pada Gambar 5. dan sekaligus usaha karamba  (Hamidah, 2012 hal: 264).

Bahan bambu rumah lanting digunakan sebagai pondasi di Kota Palangkaraya didatangkan dari daerah hulu Barito (Buntok, Muara Teweh dan Puruk Cahu). Bambu-bambu ini dikirim ke Palangkaraya melalui transportasi sungai (perahu/kelotok). Bambu yang dijadikan pondasi umumnya dipasang dengan cara menyatukan beberapa bambu (biasanya antara 80-100 batang) menjadi satu dan di bagian ujungnya diikat menggunakan ban mobil bekas. Ban bekas dipilih memiliki sifat yang mudah didapat (limbah kendaraan), memiliki kekuatan dan kelenturan/elastis dan sifat karet yang tahan lama jika terendam air.

b.       Rumah Panggung
Sungai merupakan urat nadi perekonomian sebagai lahan mata pencaharian, sebagai tempat bermukim sekaligus sebagai prasarana transportasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya di dalam pola sosial dan budaya masyarakatnya, sehingga kota Palangkaraya dikenal dengan “Kota Air”. (RUTRK Kota Palangka Raya 1999-2009).Struktur Permukiman kawasan tepian Sungai Kahayan ini merupakan struktur kawasan pertumbuhan awal Kota Palangkaraya dengan tipologi permukiman yang berhubungan langsung dengan sungai dan dahulu transportasi yang menjadi urat nadi yang menghubungkan antara daerah adalah sungai. Tipologi permukiman sebagai tempat bermukim dengan ciri rumah tinggal berupa rumah rakit (Raft House) dan rumah panggung (Pillar House) sebagai tipologi bangunan yang kaya dengan desain arsitektur lokal . Dalam tahap perkembangannya tingkat kepadatan hunian tertinggi adalah rumah rakit (Raft House) pada Gambar 5 dan Gambar 6 ialah rumah panggung (Pillar House).Pada Rumah Panggung ini dihuni masyarakat asli Suku Dayak dan Suku Banjar sebagai tempat tinggal dan tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mata pencaharian nelayan dan pembuat perahu (Hamidah, 2012 hal: 260-266).
                                                 
2. Pola Sirkulasi Lokal/Jalan Titian Kayu
Titian ialah jalur sirkulasi penumpang yang digunakan masyarakat tepian sungai untuk mencapai rumah-rumah, menuju sungai ataupun sebagai jalur interaksi masyarakat di dalam kampung kawasan tepian sungai. Titian pada permukiman tepian sungai dibuat dengan konstruksi susunan papan ulin lebar sekitar 1-2 meter. Papan-papan ini dipasang berjajar menumpu pada tiang-tiang yang ditancapkan langsung ke sungai dengan tinggi tiang sekitar 1-3 meter.
Pada beberapa kasus, terdapat titian-titian yang berukuran lebar biasanya digunakan masyarakat antara lain: (1) sebagai ruang publik untuk tempat berkumpul dan berinteraksi; (2) sebagai ruang bermain anak; (3) ruang olahraga/badminton; dan (4) pada saat-saat tertentu seperti kenduri atau rapat warga digunakan untuk ruang duduk/ruang rapat.     

4. Pola Sirkulasi Ruang Bersama/Dermaga
Secara umum pengertian dermaga ialah sarana tambatan bagi alat transportasi sungai/air (kapal, kelotok, jukung dan speed boat) bersandar untuk bongkar/muat barang atau embarkasi/debarkasi penumpang. Dermaga pada permukiman tepian sungai yang berukuran besar biasanya dibangun dengan kosntruksi panggung. Dermaga jenis ini dilengkapi dengan ruang tunggu bagi pengantar dan penjemput serta tersedia fasilitas kantin dan KM/WC. Material yang digunakan sebagian besar menggunakan kayu (lantai/dinding/rangka), ataupun variasi dengan beton (lantai beton, dinding kayu, dan struktur rangka kombinasi beton dan kayu).
Dermaga besar yaitu Dermaga Rambang  terdiri dari dua material dan konstruksi: (1) seluruhnya dengan konstruksi panggung; (2) sebagian menggunakan konstruksi panggung dan sebagiannya lagi menggunakan struktur rakit/lanting. Dermaga yang dibangun dengan konstruksi panggung menyediakan tangga-tangga bertiang untuk penumpang dari dan menuju area tambat kapal/perahu dan speed boat. Sedangkan dermaga yang dibangun dengan konstruksi tiang dan konstruksi rakit, menggunakan jembatan sebagai penghubung antara ruang tunggu pengantar maupun ruang kedatangan. Ruang-ruang yang berada dibagian berpanggung berfungsi untuk ruang pelayanan/administrasi, ruang tunggu, dan KM/WC ada juga yang menambahkan dengan fungsi kantin pada ruangan ini. Sedangkan ruang pada bagian struktur rakit biasanya digunakan sebagai ruang peralihan penumpang yang baru turun atau akan naik ke kapal, serta ruang untuk bertambatnya kapal.

           
KESIMPULAN DAN SARAN
Pola sirkulasi kawasan ini memegang peran penting dalam upaya pengembangan kawasan perkotaan. Namun demikian penelitian dan tulisan ilmiah yang berkaitan mengenai pengembangan pola sirkulasi kawasan dengan karakteristik arsitektur pola sirkulasi kawasan tepian sungai dengan kontekstual budaya masyarakat asli akrab dengan sungai, memiliki peranan dalam perkembangan kota, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi model pengembangan transportasi sungai antara lain: (a) Faktor lingkungan lahan basah; dan (b) faktor budaya sungai. Faktor lingkungan lahan basah terlihat pada penggunaan konstruksi tiang/panggung dan konstruksi rumah rakit (terapung) untuk mengatasi kondisi lahan basah yang selalu tergenang air. Faktor budaya sungai terlihat pada kuatnya ketergantungan masyarakat dalam menggunakan sungai. Sungai berfungsi sebagai hunian/rumah lanting yang memiliki peranan, yaitu: (a) sebagai rumah; (b) sebagai usaha karamba ikan; (c) sebagai toko/warung; dan (d) sebagai tambatan jukung/perahu/kelotok. Saat ini fungsi rumah lanting tetap memiliki peranan sebagai tambatan perahu sekaligus usaha karamba.

Penelitian bidang arsitektur dan perencanaan kota selama ini hanya dilihat secara regional saja, belum menyentuh pada amatan pola sirkulasi dan permukiman tepian sungai yang berperan penting pada perkembangan kota-kota di Indonesia, terlebih lagi penelitian belum sampai pada pemahaman kompleksitas permasalahan sirkulasi dan kondisi permukiman di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan model penelitian pola sirkulasi secara aplikatif dan praktif mudah diimplemtasi untuk penataan pola sirkulasi dan pelestarian maupun perbaikan permukiman, khususnya kawasan tepian sungai perkotaan di Indonesia. dalam mengelola kawasan tepian sungai dan tetap menjaga keaslian kawasan. Pada akhirnya pemahaman akan keberadaan pola sirkulasi dalam kawasan tepian sungai ini memegang peranan penting untuk melihat perkembangan fisik perkotaan, kedepan diharapkan menjadi alternatif solusi transportasi.
  

Selasa, 20 Oktober 2015

PERAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PERKEMBANGAN PERMUKIMAN PERKOTAAN YANG LEBIH PROGRESIF

Noor Hamidah


  
Abstrak

Paper ini menyoroti beberapa catatan peran Geographic Information System (GIS)/ Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berkaitan dengan manajemen perkotaan. Beberapa kemungkinan pemanfaatan SIG baik sebagai alat untuk melakukan prediksi-prediksi dan perencanaan jangka panjang maupun monitoring secara rutin perkembangan dan persoalan permukiman perkotaan. Fokus paper ini ialah melihat perkembangan permukiman perkotaan harus dikembangkan secara lebih progresif, peran SIG merupakan sarana yang tepat untuk mendukung tercapainya tujuan pengelolaan dan monitoring permukiman perkotaan yang efisien dan berkeadilan dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaataan tanah untuk permukiman. Persoalan pemanfaatan SIG tidak hanya pada segi teknis melainkan lebih pada aspek-aspek institusi, termasuk didalamnya pandangan dan perilaku stakeholders dan urban planner yang berkecimpung dalam manejemen perkotaan. SIG sebagai “tool” bersifat objektif akan sangat ditentukan oleh kepekaan para manajer kota (stakeholders dan urban planner) untuk mendeteksi apa sebenarnya persoalan yang paling kritis dihadapi oleh permukiman perkotaan di Indonesia.

Kata Kunci: Sistem Informasi Geografi, Permukiman, Manajemen Perkotaan

PENDAHULUAN
Berbicara mengenai manajemen perkotaan tidaklah lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) yakni pengelolaan dan penggunaan tanah secara rinci sebagai suatu proses pembangunan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara berkelanjutan (menyerasikan aktivitas manusia sesuai kemampuan sumberdaya alam) untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa mendatang (Sugandhy, 2009:26). Pembangunan berkelanjutan dinyatakan secara tegas oleh UN-HABITAT di Stockholm, Swedia tahun 1987 yakni: “Sustainable development is the development that meets the needs of presents without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”(WCED, 1987:8).
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) di Indonesia ialah fokus pada penggunaan tanah untuk permukiman. Tanah merupakan elemen dasar pembangunan rumah sebagai entry point dalam proses pembangunan. Tanah berfungsi sebagai ruang dan tempat manusia berbudaya. Pemanfaatan dan pengembangan tanah tersirat dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 berbunyi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penjabaran dari isi UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 ini mengartikan bahwa: (1) tanah merupakan sumber yang langka, dimana pengelolaannya harus diawasi oleh masyarakat demi kepentingan bersama; (2) Perubahan dalam penggunaan tanah terutama dari tanah pertanian untuk tanah permukiman harus berdasarkan peraturan dan diawasi masyarakat; dan (3) tanah milik masyarakat harus dipakai untuk mengamankan dan mengendalikan urbanisasi.
Mencermati konsep pembangunan berkelanjutan di atas sejalan dengan proses pembangunan nasional serta perkembangan permukiman perkotaan di Indonesia, dikenal sebagai proses pembangunan manajemen perkotaan ke depannya menghadapi lima persoalan penting, yaitu: (1) persoalan mengenai dinamika perkembangan permukiman perkotaan yang semakin sulit diantisipasi dan diprediksi, mengakibatkan model-model manajemen (permukiman) perkotaan yang cenderung pasif dan hanya mengandalkan mekanisme perijinan dan peraturan saja, selama ini dianggap tidak memadai. Banyak perubahan yang tidak dapat diprediksikan menuntut pengelola kota (urban planner) untuk selalu melakukan inovasi dan bersifat terbuka terhadap alternatif-alternatif baru untuk mengantisipasi perkembangan permukiman kota; (2) konflik ruang semakin meningkat pada beberapa dasawarsa mendatang. Konflik ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan untuk berbagai kepentingan (salah satu ruang untuk permukiman) di satu sisi, serta kecenderungan tidak efektifnya model-model konvensional rencana ruang yang cenderung terlalu kaku dan deterministik di sisi lain; (3) Persoalan batas-batas administratif negara dan kota yang semakin kabur, terutama kaitannya terhadap pola investasi global yang cenderung diluar batas “kesanggupan” pengelola administrasi negara dan kota untuk mengarahkannya; Persoalan selanjutnya merupakan konsekuensi wajar dari ketiga persoalan diatas yakni menyangkut persoalan lingkungan dan kesenjangan ekonomi sosial. Proses-proses perkembangan dan perubahan ruang yang begitu cepat dan tidak dapat diprediksi, seringkali diikuti efek-efek negatif terhadap lingkungan perkotaan meliputi: (a) penurunan pemantauan pada konservasi lahan-lahan produktif; (b) penurunan kualitas lingkungan; (b) ketidakpekaan pada persoalan limbah; dan (d) pemborosan pemanfaatan ruang. Proses perkembangan perkotaan yang sangat komersial dan cenderung didasarkan pada mekanisme pasar bebas sekarang berdampak pada semakin lebarnya kesenjangan baik secara ekonomis maupun sosial masyarakat kota seperti akses tanah untuk publik (terbatasnya tanah untuk kepentingan publik). Kesenjangan ini, apabila tidak ditangani secara serius akan berdampak pada maraknya gejolak dan pergeseran masyarakat kota yang bersifat destruktif (Lim et.al., 1987).

Berdasarkan dari kelima persoalan yang dipaparkan di atas tadi, paper ini mencoba menjawab pertanyaan umum mengenai manajemen tanah untuk permukiman perkotaan serta kemungkinan aplikasi GIS untuk menjembatani tercapainya tujuan manajemen tanah perkotaan yang progresif. Bahan diskusi mengenai manajemen tanah perkotaan, perlu kiranya dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan penting untuk dikaji lebih jauh dalam paper ini, yaitu: (1) Apa arti manajemen perkotaan, apa cakupannya dan mengapa manajemen tanah perkotaan untuk permukiman lebih krusial untuk dibahas?; (2) Bagaimanakah peran SIG dalam menunjang manajemen tanah perkotaan terutama untuk mengatasi persoalan permukiman?; (3) Apa prasyarat yang perlu disiapkan untuk dapat mengaplikasikan SIG secara optimal?; dan (4) Apakah SIG dapat mendukung tujuan utama manajemen tanah perkotaan untuk permukiman?
           PELESTARIAN ARSITEKTUR KOTA

5.1. KONSEP PELESTARIAN KOTA DAN PERKEMBANGANNYA
Konsep pelestarian arsitektur dan bangunan kuno kota telah dicetuskan sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu pada tahun1877 tatkala William Moris mendirikan Lembaga Pelestarian Bangunan Kuno (Society for the protection of ancient buildings). Sebelum itu, pada tahun 1700, Vanbrugh selaku arsitek dari Istana Bleinheim Inggris memang telah mulai merumuskan konsep pelestarian, akan tetapi masih belum melembaga. Peraturan dan Undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan dan pengawasan dalam bidang konservasi untuk melindungi lingkungan dan bangunan bersejarah dibuat pada tahun 1882, dalam bentuk Ancient Monuments Act. Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan bangunan kuno adalah Monumenten Ordonantie Stbl. 283/1931 (selanjutnya disebut dengan M.O. 1931).
Mula-mula konsepnya terbatas pada pelestarian atau dikenal dengan istilah Preservasi (Preservation), yaitu dengan mengembalikan atau membekukan monumen tersebut persis seperti keadaan semula di masa lampau. Dalam M.O. 1931 Pasal 1 disebut bahwa yang dianggap monumen dalam peraturan ini:
a)    Benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisanya yang pokoknya berumur 50 tahun atau memiliki masa langgam yang sedikit-dikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.
b)    Benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi.
c)    Situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa didalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada point a dan point b.
Hal ini jelas menekankan bahwa pusat perhatian lebih banyak ditekankan pada peninggalan arkeologis. Mengenai batas umur yang ditentukan lebih dari 50 tahun, sebetulnya nenek moyang kita juga secara arif bijaksana telah mengatakan “kalau sudah melewati separuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan.” Sasaran pelestarian saat itu meliputi mulai dari dokumen tertulis, lukisan, patung, perabot, kemudian meningkat ke bangunan candi, keraton, rumah kuno.
Konsep pelestarian arsitektur kota kemudian berkembang, tidak hanya mencakup monumen, bangunan atau benda arkeologis saja melainkan juga lingkungan, taman, dan bahkan kota bersejarah.Untuk negara berkembang atau daerah tertentu yang memiliki keunikan kaidah perancangan arsitektur dan kekhasan gaya hidup, bahkan diajukan sebagai konservasi berswadaya yang menyangkut falsafah dan konsep dasar perancangan arsitektur tersebut akan memandu setiap perkembangan baru agar tetap selaras dengan lingkungan khas yang telah menjadi jati diri dan refleksi dari masyarakatnya.

5.2. PENGENALAN PELESTARIAN ARSITEKTUR KOTA
Pelestarian arsitektur kota yang umumnya dikenal dengan istilah konservasi merupakan payung dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981.
Beberapa batasan pengertian tentang istilah-istilah dasar yang disepakati dalam Piagam Burra, dijabarkan dibawah ini:
a)        Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
b)        Preservasi adalah pelestarian suatu tempat seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran.
c)         Restorasi/Rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
d)        Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru.
e)         Revitalisasi/Adaptasi adalah merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai. Fungsi yang sesuai maksudnya adalah kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis, atau yang hanya memerlukan sedikit dampak minimal.
f)          Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.
Beberapa perangkat atau metoda yang di gunakan tetap memperhatikan kondisi dan juga sifat permasalahan yang di hadapi oleh kawasan tersebut. Mohammad Danisworo merumuskan beberapa perangkat pelaksanaan peremajaan kota antara lain:

1.     Redevelopment (pembangunan kembali)
Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara melakukan pembongkaran sarana dan prasarana dari sebagian atau seluruhnya kawasan kota setelah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi kehadirannya.

2.  Gentrifikasi
Upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan  kota melalui upaya peningkatan kwalitas lingkungan, namun tanpa menimbulkan suatu perubahan yang cukup berarti dari struktur kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan memperbaiki ekonomi suatu kawasan kota dengan mengandalkan kekuatan pasar dengan cara memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada, meningkatkan kualitas berbagai sarana melalui berbagai program rehabilitasi atau renovasi tanpa melakukan pembongkaran yang berarti.

3.  Rehabilitasi
Pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur kawasan kota yang telaah mengalami kerusakan, degradasi atau kemunduran, kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagai mana mestinya.

4.  Preservasi
Pada dasarnya merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat atau melestarikan, monument, bangunan atau lingkungan pada kondisi yang  ada dan menjaga proses perusakan.

5.  Konservasi
Upaya mempertahankan upaya untuk memelihara suatu tempat sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat dipertahankan. Atau dengan kata lain konservasi merupakan upaya melestarikan , melindungi serta memanfaatkan sumberdaya suatu tempat, seperti gedung-gedung  tua yang memiliki nilai sejarah atau budaya, kawasan dengan nilai budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan kepadatan penduduk yang ideal, cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya.

6.  Renovasi
Adalah upaya untuk merubah sebagian atau beberapa bagian dari bangunan tua, terutama bagian dalamnya (interior), dengan demikian bangunan tersebut dapat beradaptasi untuk menampung fungsi/ kegunaan baru atau masih untuk fungsi yang sama  namun dengan persyaratan yang baru atau modern.

7.  Restorasi
Upaya untuk mengendalikan suatu tempat pada kondisi asalnya yang telah hilang tanpa menambah unsur-unsur baru kedalamnya.

8.  Rekonstruksi
Merupakan upaya untuk mengendalikan kondisi suatu tempat pada kondisi atau membangun kembali suatu tempat sedekat mungkin dengan wujud semula yang diketahui, rekonstruksi biasanya dilakukan untuk mengadakan kembali tempat-tempat yang telah rusak atau bahkan telah hampir punah sama sekali.

5.3.   ELEMEN PELESTARIAN KOTA
Menurut Indriastjario dalam tulisannya Pengembangan Konsep Ruang Komersial Rekreatif Pada Penataan Kawasan Bubakan, Kota Semarang.Vol 1. Hal 36. 2003  dikutif dari Prof. Eko Budiharjo, M.Sc, manfaat yang dapat di peroleh dari upaya pelestarian, antara lain :

1.     Konservasi
Menurut Prof. Budiharjo, M.Sc., dalam The Burra Charter for The Conservation of Places of Cultural Signifigance 1981, tentang preservasi dan konservasi suatu tinjauan teori kota, secara eksplisit diperoleh batasan pengertian konservasi yang mencakup seluruh proses kegiatan mulai dari preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi sampai revitalisasi.

1. Pelestarian memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat berkesinambungan, memberi kaitan berarti dengan masa lalu, serta member pilihan untuk tinggal dan bekerja disamping lingkungan modern.
2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti saat ini, pelestarian lingkungan lama member suasana permanent yang menyegarkan.
3. Pelestarian memberi pengalaman psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat, menyentuh, merasakan buktibukti sejarah.
4. Pelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan histories tentang Pengembangan Konsep Ruang Komersial Rekreatif masa lalu dan melambangkan keterbatasan kehidupan manusia.
5. Pelestarian lingkungan lama adalah salah satu asset komersial dalam kegiatan wisata internasional.

2.     Revitalisasi
Revitalisasi adalah suatu bentuk metoda konservasi untuk menghidupkan kembali suatu kawasasn bengan pengembangan fungsi baru tanpa meninggalkan nilai-nilai lama dan jiwa tempat tersebut. Sedangkamn menurut Ir. Harry Miarsono, M.Arch., revitalisasi adalah merubah suatu tempat agar dapat digunakan unutk fungsi yang lebih sesuai, dimana tidak menuntut perubahan drastic atau hanya memerlukan sedikit dampak. Suatu area pelestarian tidak harus menjadi area yang mati tetapi kegiatan social, ekonomi, dan budidayanya justru perlu dikembangkan dan ditingkatkan secara selektif dan bangunan baru harus diadaptasi dengan bangunan kuno yang ada.

Obyek yang dapat direvitalisasi antara lain peninggalan kebudayaan yang merupakan materi alam yang berupa peninggalan arsitektur, sejarah dan arkeologi. Oleh karena itu lingkup revitalisasi adalah peninggalan kebudayaan atau artefak dan lingkup buatan yang meliputi bangunan. Program revitalisai mencakup strategi yang akan diterapkan pada masing-masing obyek yang memiliki potensi-potensi untuk divitalkan kembali dalam konteks kawasan. Dari strategi vitalisasi tersebut akan menentukkan obyek-obyek mana yang akan direstoasi, rekonstruksi, preservasi, adaptasi/revitralisasi, maupun yang ditambahkan dalam usaha menghidupkan, memvitalkan, dan mengaktifkan kembali kawasan tersebut sehingga dapat berkembang menjadi asset wisata budaya.