BAB II
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN
2.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah
2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah
di Dunia
Sejarah terbentuk rumah awalnya dimungkinkan
karena adanya keinginan manusia untuk menetap di suatu tempat melalui proses
pembentukan hunian sebagai wadah fungsional. Dahulu rumah (houses)
secara fisik berfungsi sebagai tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca
panas, dingin, hujan dan angin maupun serangan binatang buas. Bagi masyarakat primordial,
rumah merupakan tempat berlindung untuk menghindar dari bahaya-bahaya rohani
yang mengancam (Maslow, 1943). Pada perkembangan selanjutnya rumah
tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga berfungsi untuk
kebutuhan kognitif dan keindahan. Berikut ini fungsi awal rumah utamanya
sebagai: (1) Kebutuhan fisiologis (Physiological
needs), yaitu kebutuhan
untuk mempertahankan hidup; (2) Kebutuhan keamanan (Safety needs), (3)
Kebutuhan Afiliasi
(affiliation needs), yaitu rasa memiliki;
(4) Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain (esteem needs); (5) Kebutuhan untuk
mengaktualisasi diri (actualization
needs); dan
(6) Kebutuhan
kognitif dan keindahan (cognitive and
beauty needs).
Sejarah rumah menurut
Rapoport adalah: “House form is not
simply the result of physical forces or any single causal factor, but it is the
consequence of a whole range of socio-cultural factors seen their broadest
term”. Artinya pola rumah adalah tidak sesederhana dari hasil bentukan
fisik atau dari faktor tunggal lainnya, tetapi ini sebagai konsekuensi dari
keseluruhan nilai dari faktor sosial-budaya yang terlihat lebih luas
cakupannya.
Rumah sebagai suatu
proses, perubahan lingkungan binaan tentunya tidaklah sesederhana seperti
diagram diatas, akan tetapi berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek
kehidupan sosial-budaya masyarakat. Rapoport (1969) membedakan faktor-faktor
pembentuk rumah (hunian) ke dalam dua golongan, yaitu: (1) faktor primer (socio-culture factors); dan (2) faktor
sekunder (modifying factors). Rumah
sebagai lingkungan hunian merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan
sosial-budaya seperti kepercayaan, hubungan kekeluarga organisasi sosial, serta
interaksi sosial antar individu. Dengan mengacu pada terminologi “genre de vie” (Max Sorre), yang
didalamnya tercakup kultural, spiritual dan aspek sosial (Rapoport, 1969)
mengemukakan bahwa: “Houses
and settlements are the physical expression (socio-culture) of the genre de vie
(basic need and family), and this constitute their symbolic nature (symbolic
and cosmic).” Artinya rumah dan
permukiman adalah ekspresi (sosial-budaya) dari kebutuhan yang sangat mendasar dan
ini merupakan wujud simbolis (simbolis dan kosmologis); Secara diagramatik dijabarkan
oleh Rapoport (1969) perkembangan rumah melalui faktor-faktor yang menentukan
bentuk rumah sebagai lingkungan binaan (hunian) terangkum dalam diagram
berikut:
|
2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Rumah
di Indonesia
Sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun oleh bangsa
Belanda telah membentuk pola perkembangan rumah di Indonesia dikenal dengan
istilah simbiosa atau dapat disebut tiga arus pokok tradisi, (Marbun,
1979) yaitu: (1) rumah tradisi Indonesia (pribumi); (2) rumah tradisi Belanda
(kolonial Eropa); dan (3) rumah tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh
penduduk China, Arab dan India. Ketiga bentuk rumah ini berkembang sesuai
arahan Peraturan Tata Kota Pemerintah Kolonial Belanda yang berperan paling
dominan dalam pembentukan wajah arsitektur kota Indonesia. Pada perkembangan
selanjutnya, Peraturan Tata Kota yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
rumah juga diterapkan pada peraturan pola permukiman di Indonesia, dimana terdiri
atas tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979), antara lain: (1)
Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa memiliki memiliki
fasilitas infrastruktur yang memadai; (2) Permukiman orang Pribumi atau disebut
Daerah “Kampung” dihuni oleh orang Indonesia Asli memiliki ciri tidak teratur,
sarana jalan sempit, tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah
permukiman orang pribumi ini karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada
pekarangan; dan (3) Permukiman orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan
atau pusat perdagangan.
Rapoport (1969) dalam bukunya House, Form and Culture menjelaskan sejarah
rumah ditinjau melalui pendekatan environmental
determinism menekankan bahwa bentuk dan pola rumah merupakan konsekuensi
yang wajar atau respon fragmatis terhadap situasi iklim dan lingkungan tempat
rumah tersebut dibangun. Pandangan ini juga menekankan faktor bahan-bahan lokal
dominan dalam menentukan bentuk dan pola rumah.
Artinya bentuk dan pola rumah dipengaruhi oleh bahan lokal untuk
membentuk suatu bentuk rumah tertentu. Bentuk rumah tradisional sangat
bervariasi dipandang sebagai konsekuensi wajar dari tersedianya material setempat. Rumah
panggung, sebagai respon terhadap situasi tempat yang lembab, berfungsi juga
untuk mengantisipasi bahaya binatang liar, serta konsekuensi wajar dalam
penggunaan kayu sebagai material yang tersedia secara lokal. (Haryadi dan
Setiawan, 2010).
2.2. Sejarah dan Perkembangan Perumahan
2.2.1. Sejarah dan Perkembangan
Perumahan di Dunia
Sejarah perumahan
sesungguhnya berkaitan erat dengan industrialisasi, aktivitas ekonomi dan
pembangunan, dimana keberadaan perumahan ditentukan oleh aspek hukum, politik,
sosial dan administrasi. Pembangunan perumahan dilakukan besar-besaran di Eropa
dan Amerika pada abad ke-19 yaitu masa revolusi Industri, dimana pembangunan
rumah ditujukan untuk perumahan Industri.
Perkembangan
perumahan pada tahun 1950 mulai marak di Eropa, ini dalam rangka membangun
kembali perumahan yang telah hancur oleh Perang Dunia II. Model
perumahan di perkotaan menurut Turner (1971) merupakan perumahan untuk pekerja
industri (perumahan sektor informal/ migran). Pembangunan perumahan berdasarkan lamanya mereka bekerja/
tinggal di kota (migration
stages), dibagi menjadi (Turner, 1971 dalam Sudaryono, 1994): (1) Adaptor, adalah mereka
yang tinggal di kota kurang dari 1 tahun (termasuk para magang yang dibawa oleh saudara/ teman/ atas inisiatif sendiri datang ke kota) dan mencoba beradaptasi dengan sistem dan
peta kegiatan perekonomian kota (khususnya sektor informal);
(2) Competitor, adalah mereka yang tinggal di kota dengan menumpang pada saudara atau
kawan yang telah terlebih dahulu bekerja dan setelah 5 tahun mereka tinggal bersama saudara atau teman,
kemudian memiliki keterampilan dan pengalaman di bisnis sektor informal, mereka
akan memisahkan diri untuk mengoperasikan sendiri usahanya;
(3) Successor, adalah mereka para migran yang telah tinggal di kota selama 5 tahun sampai
dengan 15 tahun. Pendapatan mereka
telah mencapai rata-rata pendapatan penduduk kota dengan memiliki prospek
bisnis yang jelas dan telah mampu hidup wajar di kota serta cenderung memiliki
tempat tinggal yang tetap; dan (4) Identity Seekers, adalah mereka yang telah tinggal di kota lebih dari 15
tahun dan memiliki trade mark di
sektor informal. Mereka mulai mencari pengakuan status sosial di tengah-tengah
masyarakat, baik dalam wujud rumah maupun benda-benda yang dimiliki.
Pada tahun 1950 Charles
Abrams, ahli perumahan PBB menuangkan pengalamannya dalam sebuah buku mengenai
perkembangan perumahan di dunia berdasarkan penjelajahan di 40 negara sebagai seorang
ahli perumahan PBB perumahan. Charles Abrams (1950) menyatakan rumah hanya
dipandang sebagai sebuah wadah fisik. Charles Abrams (1950) menyimpulkan bahwa
perumahan bukan hanya lindungan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan
komunitas dan keseluruhan lingkungan sosial.
Perkembangan perumahan di awal tahun
1980-an ditandai dengan pengakuan bahwa perumahan ditujukan untuk membantu
masyarakat miskin perkotaan. Pada periode ini program akan lebih fokus pada
penyediaan elemen dasar perumahan. Elemen dasar perumahan ini merupakan
penyediaan proses perumahan secara fundamental, antara lain: Tanah, material
bangunan, teknologi, tenaga kerja, manajemen dan keuangan. Contohnya melalui program perbaikan“Site and Services” dan “Upgrading”, melakukan perbaikan
penyediaan atau akses untuk mendapatkan tanah, akan lebih membantu masyarakat
tersebut. Kebijakan perumahan dilihat sebagai memfasilitasi pada penyediaan
perumahan dan lebih efektif meningkatkan kebutuhan permintaan, sehingga
produksi rumah bisa stabil. (UNHCS, 1984: Doebele, 1987; Dowall, 1988).
Pada tahun 2002 melalui rekomendasi
Habitat II tentang Global Strategy for
Shelter (GSS) sejalan dengan idenya
JFC. Turner (1976) adalah
dukungan dari Bank
Dunia yaitu konsep pemikiran terkait hak masyarakat untuk mendapatkan perumahan
yang layak (Adequate Shelter for all).
Kebijakan ini memfokuskan pada usaha memberdayakan pihak swasta dan masyarakat
agar lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan perumahan tidak hanya menyediakan rumah secara
fisik tetapi perlu memperhatikan perumahan sebagai upaya untuk peningkatan
kualitas masnusia di masa mendatang.
2.2.2. Sejarah dan Perkembangan
Perumahan di Indonesia
Abidin Kusno (2012) adalah salah
seorang pemerhati masalah perumahan di Indonesia. Ia memaparkan dalam bukunya
berjudul Politik Ekonomi Perumahan
Rakyat tentang perkembangan perumahan di
Indonesia. Perumahan di Indonesia di mulai sejak periode pra-kemerdekaan (1934)
pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dikenal
dengan istilah perumahan rakyat (Volkswoningen)
yaitu rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Penanganan masalah
perumahan rakyat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan program pemerintah
Hindia Belanda, secara berkesinambungan belum ada. Pemerintah Hindia Belanda
hanya memfokuskan perhatian dan pengaturan pengadaan perumahan diarahkan untuk
mendukung kelancaran tugas-tugas administrasi pemerintah, hal ini diwujudkan dengan
adanya peraturan perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling atau
BWR) tahun 1934.
Perkembangan
perumahan pada masa pasca kemerdekaan (1950) adalah Kongres I Peroemahan Rakjat Sehat pada tanggal 25 -30
Agustus 1950 di Solo dibuka oleh Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden
R.I. dalam pidatonya menyataan bahwa: “Memang
Tjita-tjita (untuk membangun rumah rakjat) tidak akan tertjapai dalam setahoen
doe tahoen, tidak akan terselenggara semoenya dalam 10 ataoe 20 tahoen. Tetapi
dalam 40 tahoen ataoe setengah abad pasti dapat ditjapai, apabila kita
soenggoeh-soenggoeh maoe dan beroesaha dengan penoeh kepertjayaan.” Kongres I ini telah menghasilkan
tiga rekomendasi, yaitu: (1) mengajukan usul kepada Pemerintah agar di
tiap-tiap provinsi perlu didirikannya perusahaan pembangunan perumahan rakyat; (2)
perlu merumuskan norma dan syarat-syarat perumahan rakyat standar minimum; (3) mengusulkan
kepada pemerintah agar segera membentuk badan/ lembaga untuk menangani pembangunan
pembiayaan perumahan rakyat, yang penyediaan dananya dijamin dalam anggaran
belanja pemerintah setiap tahun.
Masa
Orde Baru tahun 1966, telah membawa perubahan di berbagai bidang tatanan
kehidupan bangsa Indonesia. Stabilitas di bidang politik, sosial dan ekonomi
merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan nasional secara terencana dan
bertahap, sebagai bentuk pengisi kemerdekaan. Landasan kebijaksanaan di bidang
perumahan di masa Orde Baru ditandai secara politis dengan ketetapan MPRS
secara singkat menyebutkan: “supaya diintensifkan pembangunan perumahan
perumahan rakyat sehat”. Berbagai langkah mulai dirintis kembali ke arah program perumahan, salah
satunya adalah Lokakarya Nasional I Direktorat Cipta Karya mengenai Perumahan
di Bandung tahun 1968 menjelang persiapan PELITA-I. Perhatian Pemerintah
terhadap perumahan dilanjutkan dengan diselenggarakannya Lokakarya Nasional II Kebijakan Perumahan pada tanggal
4 – 6 Mei 1972 di Jakarta dengan tema Kebijaksanaan
Perumahan dan Pembiayaan Pembangunan. Implementasi rekomendasi dari hasil Lokakarya antara lain:
Pembentukan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN); Pendirian Perum
Perumnas; Penugasan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Kredit Perumahan Rakyat (KPR) untuk rumah sederhana
yang dibangun oleh Perum Perumnas dan/atau Developer
Swasta; pendirian Pusat Informasi Teknik Bangunan (PITB); Sejalan dengan
lokakarya tersebut, pihak swasta membentuk organisasi Real Estate Indonesia (REI).
Pemikiran mengenai perumahan tidak sekedar sebagai wadah fisik bagi
manusia, juga sebagai peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia diangkat
sebagai tema Lokakarya Nasional III
diselenggarakan pada tanggal 16 sampai 18 November 1992 di Jakarta yaitu Pembangunan
Perumahan dan Permukiman yang Berkelanjutan. Implementasi
lokakarya nasional ketiga ini adalah
diundangkannya UU No. 4
Tahun 1992 dan mulai dirintisnya dinas perumahan di Daerah, serta dirintisnya
sistem pembiayaan perumahan melalui kelompok. Sedangkan penyediaan tanah
melalui KASIBA masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hasil lokakarya nasional akan menjadi masukan strategis dalam penjabaran kebijakan nasional bidang perumahan dan permukiman
ke dalam kebijakan operasional sesuai dengan tantangan dan permasalahan perumahan di masa depan.
Perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat tinggal” merupakan
tema Kongres Nasional Perumahan Rakyat
II, di Jakarta yang diprakarsai oleh Menteri Perumahan M. Yusuf As’yari.
Kongres nasional ini merupakan tonggak sejarah Perumahan Rakyat Indonesia yang
mengacu pada Kongres Perumahan I tahun 1950 (Abidin Kusno, 2012). Kongres II
merupakan upaya merealisasikan cita-cita bangsa Indonesia pada saat Kongres I
tahun 1950. Beberapa langkah baru memang diumumkan dalam Kongres 2009,
misalnya, perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat
tinggal” sebagaimana dipaparkan oleh Oswar Mungkara dari Direktorat Permukiman
dan perumahan Bappenas pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan
internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU No. 11 tahun 2005,
sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan atas
perumahan. Dengan mengembangkan “hak bertempat tinggal” menjadi “hak asasi
manusia” maka pemenuhan hak ini dapat diukur enam indikator atas rumah (menurut
Pasal 11 CESCR) yaitu: (1) sifat kepemilikan hak (security of tenure); (2) ketersediaan pelayanannya (availability of service); (3)
keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability);
(4) kelayakannya sebagai tempat tinggal (habitability);
(5) adanya peluang bagi semua orang (accesibility);
dan (6) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy).
2.3.
Perkembangan Permukiman
2.3.1.
Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Dunia
Permukiman sebagai awal terbentuknya
kota, secara pastinya orang atau ahli sejarah tidak dapat menentukan kapan atau
tahun berapa permukiman pertama di dunia didirikan. Dalam sejarah kehidupan
manusia, permukiman atau embrio kota dimulai ketika warga masyarakat mulai
mengakhiri hidup mengembara dan mulai menetap pada suatu tempat tertentu dalam
segala aspek kehidupan yang semakin meluas. Namun tidak semua bentuk kehidupan
tersebut secara otomatis berubah menjadi kota.
Berdasarkan sejarah diketahui bahwa permukiman atau embrio
kota telah terdapat di Mesopotamia, di muara atau di pinggir Sungai Tigris dan
Euprat. Menurut ahli sejarah di Asia seperti di India dan Tiongkok sejak ribuan
tahun sebelum masehi telah terdapat bekas-bekas permukiman tua yang digali dan
direkonstruksi para arkeolog. Demikian juga di Mesir dan sisa kebudayaan Maya
dan Inka di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Permukiman tertua yang sampai
sekarang eksis ialah kota Damaskus di Syria. Namun permukiman tua di Asia,
Afrika Utara, dan Amerika keadaannya tidak sama dengan keadaan permukiman/
embrio kota ketika kejayaan kebudayaan Yunani dan Romawi. Embrio kota atau
permukiman tua di Yunani dan Romawi mempunyai pusat kota atau kota inti dan
umumnya penduduknya padat serta merupakan jantung kehidupan baik politik maupun
ekonomi. Model embrio kota/ permukiman awal di Yunani dan Romawi ini ternyata
diikuti kemudian oleh kota-kota di Eropa abad pertengahan sampai sekarang.
Model ini juga diterapkan oleh penguasa daerah di luar Eropa: Asia, Afrika dan
Amerika sebagai daerah jajahan (Marbun, 1979).
Model embrio kota atau permukiman awal di Asia
terkonsentrasi dipinggir-pinggir sungai, dimana ini merupakan suatu awal
terbentuknya kota. Pendekatan geografis-demografis melihat permukiman sebagai
pusat kota yaitu tempat pemusatan penduduk, walaupun jumlah penduduk tidak
dapat dinyatakan secara eksak. Pendekatan dari segi ekonomis melihat kota
sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi dan perdagangan juga kegiatan
industri serta tempat perputaran uang. (Marbun, 1979).
2.3.3.
Sejarah dan Perkembangan Permukiman
di Indonesia
Sejarah
permukiman di Indonesia, telah dikenal jauh sebelum masa-masa kolonial dalam
bentuk formal maupun informal, tetapi tidak mudah menemukenali awal permukiman
ini. Di awali masuknya Kebudayaan Hindu dan Islam telah memperkenalkan
peraturan dan kebiasaan untuk perencanaan fisik permukiman yang merupakan
percampuran antara mitologi dan kepercayaan/religi (Rapoport, 1971). Kota di
Jawa dan Bali menunjukan peninggalan seperti itu (Nas, 1982). Suatu kebiasaan
yang juga terdapat di belahan dunia lain (Mumford, 1961) yang dapat digolongkan
menjadi perencanaan yang ortogonal (Friedman, 1987). Perencanaan permukiman terstruktur
mungkin baru mulai terlihat sekitar tahun 1800-an dengan mulainya penjajahan di
Indonesia. Permulaan abad ke-18 ketika VOC (Pemerintah Kolonial Belanda) menguasai
hampir seluruh kepulauan Indonesia, terjadi perubahan pola permukiman terutama
di perkotaan. Pemerintah kolonial mulai membangun permukiman untuk orang
Belanda yang mengikuti tradisi Barat, sementara orang Indonesia asli tinggal di
kampung.
Merujuk pada sejarah bangsa Indonesia, selama 350 tahun
dijajah Belanda, pola perkembangan kota Indonesia merupakan simbiosa atau dapat
disebut tiga arus pokok tradisi, yaitu: tradisi Indonesia (pribumi), tradisi
Belanda dan tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh penduduk China. Ketiga
tradisi ini berkembang sendiri-sendiri dengan arahan dari Pemerintah kolonial
yang diatur dalam peraturan tata kota. Pemerintah Kolonial Belanda adalah yang
berperan paling dominan dalam pembentukan wajah kota dengan pengaruh Eropa.
Pada pembentukan wajah kota di Indonesia konsep yang dibuat oleh Pemerintah
Kolonial Belanda terdiri dari tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979),
antara lain: (1) Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang
Eropa memiliki ciri prasarana jalan yang paling teratur, bersih dan sistem
perumahan yang ideal, diikuti fasilitas infrastruktur yang memadai, contohnya
permukiman di daerah Menteng, di Jakarta dan daerah Dago di Bandung; (2)
Permukiman orang Pribumi atau disebut Daerah “Kampung” dihuni oleh orang
Indonesia Asli. Daerah ini memiliki ciri tidak teratur, sarana jalan sempit,
tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah permukiman orang pribumi ini
karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada pekarangan; (3) Permukiman
orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan atau pusat perdagangan.
Permukiman ini memiliki ciri bangunannya dua lantai, dimana lantai pertama
berfungsi sebagai tempat berdagang dan lantai kedua berfungsi sebagai tempat
tinggal. Secara keseluruhan pusat pertokoan ini teratur, memanjang sepanjang
jalan raya dan memiliki sarana lalu lintas yang baik serta memiliki fasilitas
listrik, air ledeng dan sambungan telepon.
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi waktu sebelum kedatangan
Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak mendapati satu kota atau bekas
kota atau permukiman tua yang berarti. Bentuk permukiman yang ada atau embrio
kota adalah permukiman di tepi pantai/ kota pantai atau bandar sebagai pusat
lalu lintas perdagangan, seperti: Palembang (masa kejayaan Sriwijaya), Barus,
di Pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Pada pusat-pusat kerajaan
Nusantara juga dijumpai bekas kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan
seperti Yogyakarta, Solo, dan Bali. Kota-kota Nusantara sebelum kedatangan
Belanda terbatas berfungsi sebagai tempat lalu lintas perdagangan atau hanya pusat pemerintahan.
Kota-kota di Nusantara dikenal dengan sebutan kota pesisir
atau kota sungai, kemudian berkembang kota-kota baru di kawasan daratan. Kota
sungai memiliki keunikan dibanding kota daratan, sehingga ini merupakan potensi
yang bisa dikembangkan dalam pembentukan citra suatu kota.
Permukiman sebagai
bagian dari lingkungan binaan manusia, merupakan bentuk tatanan kehidupan yang
didalamnya mengandung unsur fisik spasial (sebagai wadah aktivitas
manusia) dan unsur non-fisik dalam bentuk tata nilai (value of socio-culture) serta akumulasi aktivitas manusia. Rumah
sebagai hasil bentukan arsitektur mencakup dua dimensi, yaitu: dimensi fisik
spasial dan dimensi sosial-budaya masyarakat (Rapoport, 1969).
Permukiman di
Indonesia sebagai lingkungan binaan manusia, proses dan komponen penyusunannya
tidak dapat lepas dari masalah kondisi sosial budaya masyarakatnya, karena pada
hakikatnya wujud fisik rumah sebagai lingkungan binaan merupakan manifestasi
kehidupan non-fisik yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Permukiman sebagai hasil
perwujudan fisik kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan dan menjadi
satu kesatuan sistem budaya yang tercermin pada kompleks aktivitas berpola
dalam suatu keseluruhan sistem sosial masyarakat disebut “kebudayaan fisik” (Physical culture: Koentjaraningrat; 1979).
Menurut Koentjaraningrat (1979), ada tiga wujud kebudayaan yakni: (1) sistem
kebudayaan (cultural system) berupa
sistem nilai, norma-norma dan perangkat aturan;
(2) sistem sosial (social system)
sebagai suatu kompleks aktivitas; dan (3) sistem fisik (physical system) sebagai benda hasil karya manusia. Secara
diagramatik wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat (1979) digambarkan sebagai
berikut:
Pemahaman
sejarah permukiman untuk mewadahi manusia sebagai mahluk berbudaya. Permukiman mengandung
pengertian sebagai wadah/ ruang bagi manusia untuk menciptakan manusia yang berbudaya,
dimana kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam pengertian
permukiman hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan
masyarakatnya. Seperangkat nilai yang menjadi landasan dalam lingkup permukiman
menentukan sikap terhadap dunia luarnya, dimana langkah-langkah kegiatan yang
harusnya dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup
kemasyarakatannya mengacu pada faktor religi, kultural dan perilaku (Haryadi
dan Setiawan, 2010).
2.3.4. Sejarah
dan Perkembangan Permukiman
di Kalimantan Tengah
Menurut catatan sejarah perkembangan kota-kota di Kalimantan
Tengah berada di tepi sungai yang tumbuh secara alami. Selain sungai-sungai
yang tumbuh secara alami, terdapat juga kanal-kanal (saluran air/anjir) dan
anak sungai yang banyak dibuat oleh Pemerintah Belanda pada zaman penjajajahan.
Kanal-kanal/ saluran air/ Anjir dengan maksud sebagai antisipasi banjir, mengingat
kondisi topografi kota-kota di Kalimantan Tengah yang labil akan serangan
banjir pasang air laut. Fungsi sungai juga menyimpan catatan sejarah lahirnya
kota-kota di Kalimantan Tengah antara lain Kota Kapuas, Kota Muara Teweh, Kota
Buntok awal permukiman berada di tepi Sungai Barito, Kota Palangkaraya,
Katingan dan Pulang Pisau tumbuhnya permukiman berada di tepi Sungai Kahayan,
serta Kota Sampit, Kuala Pembuang, dan Pangkalanbun permukiman awal berada di
tepi Sungai Mentaya. (Tjilik Riwut, 1979).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah dan perkembangan
kota telah menjelaskan terbentuknya kota-kota di Kalimantan Tengah diawali dari
sungai yang banyak mengaliri kotanya.
Kota-kota di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kota
yang lekat dengan julukan Kota Sungai. Ada sekian banyak sungai yang membelah
kota ini antara lain Sungai Jelai, Arut, Kumai, Lamandau, Mentaya, Katingan, Kahayan, Kapuas, Barito dan Sebangau,
semuanya bermuara di Laut Jawa dengan panjang hingga mencapai 900 km serta panjang terlayari mencapai 720 km. Selain
sungai-sungai tersebut di atas, terdapat beberapa anjir (sungai buatan), yaitu
Anjir Kalampan, Anjir Basarang, Anjir Serapat, Anjir Tamban, Anjir Baturaya, Anjir Terusan, Anjir Nusa dan Anjir
Simpur yang mempengaruhi perkembangan permukimman yang tergantung dari kondisi
sungai tersebut. (DAS Kahayan, 2007)