Rabu, 17 April 2013


BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN

2.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah
2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Rumah di Dunia
Sejarah terbentuk rumah awalnya dimungkinkan karena adanya keinginan manusia untuk menetap di suatu tempat melalui proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional. Dahulu rumah (houses) secara fisik berfungsi sebagai tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan angin maupun serangan binatang buas. Bagi masyarakat primordial, rumah merupakan tempat berlindung untuk menghindar dari bahaya-bahaya rohani yang mengancam (Maslow, 1943). Pada perkembangan selanjutnya rumah tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga berfungsi untuk kebutuhan kognitif dan keindahan. Berikut ini fungsi awal rumah utamanya sebagai: (1) Kebutuhan fisiologis (Physiological needs), yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup; (2) Kebutuhan keamanan (Safety needs), (3) Kebutuhan Afiliasi (affiliation needs), yaitu rasa memiliki; (4) Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain (esteem needs); (5) Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri (actualization needs); dan (6) Kebutuhan kognitif dan keindahan (cognitive and beauty needs).

Sejarah rumah menurut Rapoport adalah: “House form is not simply the result of physical forces or any single causal factor, but it is the consequence of a whole range of socio-cultural factors seen their broadest term”. Artinya pola rumah adalah tidak sesederhana dari hasil bentukan fisik atau dari faktor tunggal lainnya, tetapi ini sebagai konsekuensi dari keseluruhan nilai dari faktor sosial-budaya yang terlihat lebih luas cakupannya.   
Rumah sebagai suatu proses, perubahan lingkungan binaan tentunya tidaklah sesederhana seperti diagram diatas, akan tetapi berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial-budaya masyarakat. Rapoport (1969) membedakan faktor-faktor pembentuk rumah (hunian) ke dalam dua golongan, yaitu: (1) faktor primer (socio-culture factors); dan (2) faktor sekunder (modifying factors). Rumah sebagai lingkungan hunian merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan sosial-budaya seperti kepercayaan, hubungan kekeluarga organisasi sosial, serta interaksi sosial antar individu. Dengan mengacu pada terminologi “genre de vie” (Max Sorre), yang didalamnya tercakup kultural, spiritual dan aspek sosial (Rapoport, 1969) mengemukakan bahwa: “Houses and settlements are the physical expression (socio-culture) of the genre de vie (basic need and family), and this constitute their symbolic nature (symbolic and cosmic).”  Artinya rumah dan permukiman adalah ekspresi (sosial-budaya) dari kebutuhan yang sangat mendasar dan ini merupakan wujud simbolis (simbolis dan kosmologis); Secara diagramatik dijabarkan oleh Rapoport (1969) perkembangan rumah melalui faktor-faktor yang menentukan bentuk rumah sebagai lingkungan binaan (hunian) terangkum dalam diagram berikut:


 
2.1.2. Sejarah dan Perkembangan Rumah di Indonesia
Sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun oleh bangsa Belanda telah membentuk pola perkembangan rumah di Indonesia dikenal dengan istilah simbiosa atau dapat disebut tiga arus pokok tradisi, (Marbun, 1979) yaitu: (1) rumah tradisi Indonesia (pribumi); (2) rumah tradisi Belanda (kolonial Eropa); dan (3) rumah tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh penduduk China, Arab dan India. Ketiga bentuk rumah ini berkembang sesuai arahan Peraturan Tata Kota Pemerintah Kolonial Belanda yang berperan paling dominan dalam pembentukan wajah arsitektur kota Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, Peraturan Tata Kota yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk rumah juga diterapkan pada peraturan pola permukiman di Indonesia, dimana terdiri atas tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979), antara lain: (1) Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa memiliki memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai; (2) Permukiman orang Pribumi atau disebut Daerah “Kampung” dihuni oleh orang Indonesia Asli memiliki ciri tidak teratur, sarana jalan sempit, tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah permukiman orang pribumi ini karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada pekarangan; dan (3) Permukiman orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan atau pusat perdagangan.
Rapoport (1969) dalam bukunya House, Form and Culture menjelaskan sejarah rumah ditinjau melalui pendekatan environmental determinism menekankan bahwa bentuk dan pola rumah merupakan konsekuensi yang wajar atau respon fragmatis terhadap situasi iklim dan lingkungan tempat rumah tersebut dibangun. Pandangan ini juga menekankan faktor bahan-bahan lokal dominan dalam menentukan bentuk dan pola rumah.  Artinya bentuk dan pola rumah dipengaruhi oleh bahan lokal untuk membentuk suatu bentuk rumah tertentu. Bentuk rumah tradisional sangat bervariasi dipandang sebagai konsekuensi wajar dari  tersedianya material setempat. Rumah panggung, sebagai respon terhadap situasi tempat yang lembab, berfungsi juga untuk mengantisipasi bahaya binatang liar, serta konsekuensi wajar dalam penggunaan kayu sebagai material yang tersedia secara lokal. (Haryadi dan Setiawan, 2010).

2.2. Sejarah dan Perkembangan Perumahan
2.2.1. Sejarah dan Perkembangan Perumahan di Dunia
Sejarah perumahan sesungguhnya berkaitan erat dengan industrialisasi, aktivitas ekonomi dan pembangunan, dimana keberadaan perumahan ditentukan oleh aspek hukum, politik, sosial dan administrasi. Pembangunan perumahan dilakukan besar-besaran di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 yaitu masa revolusi Industri, dimana pembangunan rumah ditujukan untuk perumahan Industri.
Perkembangan perumahan pada tahun 1950 mulai marak di Eropa, ini dalam rangka membangun kembali perumahan yang telah hancur oleh Perang Dunia II. Model perumahan di perkotaan menurut Turner (1971) merupakan perumahan untuk pekerja industri (perumahan sektor informal/ migran). Pembangunan perumahan berdasarkan lamanya mereka bekerja/ tinggal di kota (migration stages), dibagi menjadi (Turner, 1971 dalam Sudaryono, 1994): (1) Adaptor, adalah mereka yang tinggal di kota kurang dari 1 tahun (termasuk para magang yang dibawa oleh saudara/ teman/ atas inisiatif sendiri datang ke kota) dan mencoba beradaptasi dengan sistem dan peta kegiatan perekonomian kota (khususnya sektor informal); (2) Competitor, adalah mereka yang tinggal di kota dengan menumpang pada saudara atau kawan yang telah terlebih dahulu bekerja dan setelah 5 tahun mereka tinggal bersama saudara atau teman, kemudian memiliki keterampilan dan pengalaman di bisnis sektor informal, mereka akan memisahkan diri untuk mengoperasikan sendiri usahanya; (3) Successor, adalah mereka para migran yang telah tinggal di kota selama 5 tahun sampai dengan 15 tahun. Pendapatan mereka telah mencapai rata-rata pendapatan penduduk kota dengan memiliki prospek bisnis yang jelas dan telah mampu hidup wajar di kota serta cenderung memiliki tempat tinggal yang tetap; dan (4) Identity Seekers, adalah mereka yang telah tinggal di kota lebih dari 15 tahun dan memiliki trade mark di sektor informal. Mereka mulai mencari pengakuan status sosial di tengah-tengah masyarakat, baik dalam wujud rumah maupun benda-benda yang dimiliki. 
Pada tahun 1950 Charles Abrams, ahli perumahan PBB menuangkan pengalamannya dalam sebuah buku mengenai perkembangan perumahan di dunia berdasarkan penjelajahan di 40 negara sebagai seorang ahli perumahan PBB perumahan. Charles Abrams (1950) menyatakan rumah hanya dipandang sebagai sebuah wadah fisik. Charles Abrams (1950) menyimpulkan bahwa perumahan bukan hanya lindungan, tetapi merupakan bagian dari kehidupan komunitas dan keseluruhan lingkungan sosial.
Perkembangan perumahan di awal tahun 1980-an ditandai dengan pengakuan bahwa perumahan ditujukan untuk membantu masyarakat miskin perkotaan. Pada periode ini program akan lebih fokus pada penyediaan elemen dasar perumahan. Elemen dasar perumahan ini merupakan penyediaan proses perumahan secara fundamental, antara lain: Tanah, material bangunan, teknologi, tenaga kerja, manajemen dan keuangan. Contohnya melalui program perbaikan“Site and Services” dan “Upgrading”, melakukan perbaikan penyediaan atau akses untuk mendapatkan tanah, akan lebih membantu masyarakat tersebut. Kebijakan perumahan dilihat sebagai memfasilitasi pada penyediaan perumahan dan lebih efektif meningkatkan kebutuhan permintaan, sehingga produksi rumah bisa stabil. (UNHCS, 1984: Doebele, 1987; Dowall, 1988).
Pada tahun 2002 melalui rekomendasi Habitat II tentang Global Strategy for Shelter (GSS)  sejalan dengan idenya JFC. Turner (1976) adalah dukungan dari Bank Dunia yaitu konsep pemikiran terkait hak masyarakat untuk mendapatkan perumahan yang layak (Adequate Shelter for all). Kebijakan ini memfokuskan pada usaha memberdayakan pihak swasta dan masyarakat agar lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan perumahan tidak hanya menyediakan rumah secara fisik tetapi perlu memperhatikan perumahan sebagai upaya untuk peningkatan kualitas masnusia di masa mendatang.

2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Perumahan di Indonesia
Abidin Kusno (2012) adalah salah seorang pemerhati masalah perumahan di Indonesia. Ia memaparkan dalam bukunya berjudul Politik Ekonomi Perumahan Rakyat tentang perkembangan perumahan di Indonesia. Perumahan di Indonesia di mulai sejak periode pra-kemerdekaan (1934) pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dikenal dengan istilah perumahan rakyat (Volkswoningen) yaitu rumah-rumah yang dibangun sendiri oleh masyarakat. Penanganan masalah perumahan rakyat sebagai bagian dari kebijaksanaan dan program pemerintah Hindia Belanda, secara berkesinambungan belum ada. Pemerintah Hindia Belanda hanya memfokuskan perhatian dan pengaturan pengadaan perumahan diarahkan untuk mendukung kelancaran tugas-tugas administrasi pemerintah, hal ini diwujudkan dengan adanya peraturan perumahan Pegawai Negeri Sipil (Burgelijke Woning Regeling atau BWR) tahun 1934.
Perkembangan perumahan pada masa pasca kemerdekaan (1950) adalah Kongres I Peroemahan Rakjat Sehat pada tanggal 25 -30 Agustus 1950 di Solo dibuka oleh Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden R.I. dalam pidatonya menyataan bahwa: “Memang Tjita-tjita (untuk membangun rumah rakjat) tidak akan tertjapai dalam setahoen doe tahoen, tidak akan terselenggara semoenya dalam 10 ataoe 20 tahoen. Tetapi dalam 40 tahoen ataoe setengah abad pasti dapat ditjapai, apabila kita soenggoeh-soenggoeh maoe dan beroesaha dengan penoeh kepertjayaan.” Kongres I ini telah menghasilkan tiga rekomendasi, yaitu: (1) mengajukan usul kepada Pemerintah agar di tiap-tiap provinsi perlu didirikannya perusahaan pembangunan perumahan rakyat; (2) perlu merumuskan norma dan syarat-syarat perumahan rakyat standar minimum; (3) mengusulkan kepada pemerintah agar segera membentuk badan/ lembaga untuk menangani pembangunan pembiayaan perumahan rakyat, yang penyediaan dananya dijamin dalam anggaran belanja pemerintah setiap tahun.
Masa Orde Baru tahun 1966, telah membawa perubahan di berbagai bidang tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Stabilitas di bidang politik, sosial dan ekonomi merupakan landasan yang kuat bagi pembangunan nasional secara terencana dan bertahap, sebagai bentuk pengisi kemerdekaan. Landasan kebijaksanaan di bidang perumahan di masa Orde Baru ditandai secara politis dengan ketetapan MPRS secara singkat menyebutkan: “supaya diintensifkan pembangunan perumahan perumahan rakyat sehat”. Berbagai langkah mulai dirintis  kembali ke arah program perumahan, salah satunya adalah Lokakarya Nasional I Direktorat Cipta Karya mengenai Perumahan di Bandung tahun 1968 menjelang persiapan PELITA-I. Perhatian Pemerintah terhadap perumahan dilanjutkan dengan diselenggarakannya Lokakarya  Nasional II Kebijakan Perumahan pada tanggal 4 – 6 Mei 1972 di Jakarta dengan tema Kebijaksanaan Perumahan dan Pembiayaan Pembangunan. Implementasi rekomendasi dari hasil Lokakarya antara lain: Pembentukan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN); Pendirian Perum Perumnas; Penugasan kepada Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur Kredit Perumahan Rakyat (KPR) untuk rumah sederhana yang dibangun oleh Perum Perumnas dan/atau Developer Swasta; pendirian Pusat Informasi Teknik Bangunan (PITB); Sejalan dengan lokakarya tersebut, pihak swasta membentuk organisasi Real Estate Indonesia (REI).
Pemikiran mengenai perumahan tidak sekedar sebagai wadah fisik bagi manusia, juga sebagai peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia diangkat sebagai tema Lokakarya Nasional III diselenggarakan pada tanggal 16 sampai 18 November 1992 di Jakarta yaitu Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang Berkelanjutan. Implementasi lokakarya nasional ketiga ini adalah diundangkannya UU No. 4 Tahun 1992 dan mulai dirintisnya dinas perumahan di Daerah, serta dirintisnya sistem pembiayaan perumahan melalui kelompok. Sedangkan penyediaan tanah melalui KASIBA masih belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hasil lokakarya nasional akan menjadi masukan strategis dalam penjabaran kebijakan nasional bidang perumahan dan permukiman ke dalam kebijakan operasional sesuai dengan tantangan dan permasalahan perumahan di masa depan.
Perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat tinggal” merupakan tema Kongres  Nasional Perumahan Rakyat II, di Jakarta yang diprakarsai oleh Menteri Perumahan M. Yusuf As’yari. Kongres nasional ini merupakan tonggak sejarah Perumahan Rakyat Indonesia yang mengacu pada Kongres Perumahan I tahun 1950 (Abidin Kusno, 2012). Kongres II merupakan upaya merealisasikan cita-cita bangsa Indonesia pada saat Kongres I tahun 1950. Beberapa langkah baru memang diumumkan dalam Kongres 2009, misalnya, perumahan dianggap “hak asasi manusia”, bukan hanya “bertempat tinggal” sebagaimana dipaparkan oleh Oswar Mungkara dari Direktorat Permukiman dan perumahan Bappenas pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU No. 11 tahun 2005, sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan atas perumahan. Dengan mengembangkan “hak bertempat tinggal” menjadi “hak asasi manusia” maka pemenuhan hak ini dapat diukur enam indikator atas rumah (menurut Pasal 11 CESCR) yaitu: (1) sifat kepemilikan hak (security of tenure); (2) ketersediaan pelayanannya (availability of service); (3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability); (4) kelayakannya sebagai tempat tinggal (habitability); (5) adanya peluang bagi semua orang (accesibility); dan (6) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location and cultural adequacy).     
  
2.3. Perkembangan Permukiman
2.3.1.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Dunia
Permukiman sebagai awal terbentuknya kota, secara pastinya orang atau ahli sejarah tidak dapat menentukan kapan atau tahun berapa permukiman pertama di dunia didirikan. Dalam sejarah kehidupan manusia, permukiman atau embrio kota dimulai ketika warga masyarakat mulai mengakhiri hidup mengembara dan mulai menetap pada suatu tempat tertentu dalam segala aspek kehidupan yang semakin meluas. Namun tidak semua bentuk kehidupan tersebut secara otomatis berubah menjadi kota.
Berdasarkan sejarah diketahui bahwa permukiman atau embrio kota telah terdapat di Mesopotamia, di muara atau di pinggir Sungai Tigris dan Euprat. Menurut ahli sejarah di Asia seperti di India dan Tiongkok sejak ribuan tahun sebelum masehi telah terdapat bekas-bekas permukiman tua yang digali dan direkonstruksi para arkeolog. Demikian juga di Mesir dan sisa kebudayaan Maya dan Inka di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Permukiman tertua yang sampai sekarang eksis ialah kota Damaskus di Syria. Namun permukiman tua di Asia, Afrika Utara, dan Amerika keadaannya tidak sama dengan keadaan permukiman/ embrio kota ketika kejayaan kebudayaan Yunani dan Romawi. Embrio kota atau permukiman tua di Yunani dan Romawi mempunyai pusat kota atau kota inti dan umumnya penduduknya padat serta merupakan jantung kehidupan baik politik maupun ekonomi. Model embrio kota/ permukiman awal di Yunani dan Romawi ini ternyata diikuti kemudian oleh kota-kota di Eropa abad pertengahan sampai sekarang. Model ini juga diterapkan oleh penguasa daerah di luar Eropa: Asia, Afrika dan Amerika sebagai daerah jajahan (Marbun, 1979).
Model embrio kota atau permukiman awal di Asia terkonsentrasi dipinggir-pinggir sungai, dimana ini merupakan suatu awal terbentuknya kota. Pendekatan geografis-demografis melihat permukiman sebagai pusat kota yaitu tempat pemusatan penduduk, walaupun jumlah penduduk tidak dapat dinyatakan secara eksak. Pendekatan dari segi ekonomis melihat kota sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi dan perdagangan juga kegiatan industri serta tempat perputaran uang. (Marbun, 1979).

2.3.3.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Indonesia
Sejarah permukiman di Indonesia, telah dikenal jauh sebelum masa-masa kolonial dalam bentuk formal maupun informal, tetapi tidak mudah menemukenali awal permukiman ini. Di awali masuknya Kebudayaan Hindu dan Islam telah memperkenalkan peraturan dan kebiasaan untuk perencanaan fisik permukiman yang merupakan percampuran antara mitologi dan kepercayaan/religi (Rapoport, 1971). Kota di Jawa dan Bali menunjukan peninggalan seperti itu (Nas, 1982). Suatu kebiasaan yang juga terdapat di belahan dunia lain (Mumford, 1961) yang dapat digolongkan menjadi perencanaan yang ortogonal (Friedman, 1987). Perencanaan permukiman terstruktur mungkin baru mulai terlihat sekitar tahun 1800-an dengan mulainya penjajahan di Indonesia. Permulaan abad ke-18 ketika VOC (Pemerintah Kolonial Belanda) menguasai hampir seluruh kepulauan Indonesia, terjadi perubahan pola permukiman terutama di perkotaan. Pemerintah kolonial mulai membangun permukiman untuk orang Belanda yang mengikuti tradisi Barat, sementara orang Indonesia asli tinggal di kampung.
Merujuk pada sejarah bangsa Indonesia, selama 350 tahun dijajah Belanda, pola perkembangan kota Indonesia merupakan simbiosa atau dapat disebut tiga arus pokok tradisi, yaitu: tradisi Indonesia (pribumi), tradisi Belanda dan tradisi Asia lainnya, yang didominasi oleh penduduk China. Ketiga tradisi ini berkembang sendiri-sendiri dengan arahan dari Pemerintah kolonial yang diatur dalam peraturan tata kota. Pemerintah Kolonial Belanda adalah yang berperan paling dominan dalam pembentukan wajah kota dengan pengaruh Eropa. Pada pembentukan wajah kota di Indonesia konsep yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda terdiri dari tiga tradisi/ lapisan permukiman (Marbun, 1979), antara lain: (1) Permukiman orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa memiliki ciri prasarana jalan yang paling teratur, bersih dan sistem perumahan yang ideal, diikuti fasilitas infrastruktur yang memadai, contohnya permukiman di daerah Menteng, di Jakarta dan daerah Dago di Bandung; (2) Permukiman orang Pribumi atau disebut Daerah “Kampung” dihuni oleh orang Indonesia Asli. Daerah ini memiliki ciri tidak teratur, sarana jalan sempit, tidak ada air ledeng dan tidak ada listrik. Daerah permukiman orang pribumi ini karakteristiknya semrawut, sumpek dan tidak ada pekarangan; (3) Permukiman orang Cina dan India atau disebut Pusat Pertokoan atau pusat perdagangan. Permukiman ini memiliki ciri bangunannya dua lantai, dimana lantai pertama berfungsi sebagai tempat berdagang dan lantai kedua berfungsi sebagai tempat tinggal. Secara keseluruhan pusat pertokoan ini teratur, memanjang sepanjang jalan raya dan memiliki sarana lalu lintas yang baik serta memiliki fasilitas listrik, air ledeng dan sambungan telepon.  
Kalau ditelusuri lebih jauh lagi waktu sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak mendapati satu kota atau bekas kota atau permukiman tua yang berarti. Bentuk permukiman yang ada atau embrio kota adalah permukiman di tepi pantai/ kota pantai atau bandar sebagai pusat lalu lintas perdagangan, seperti: Palembang (masa kejayaan Sriwijaya), Barus, di Pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Pada pusat-pusat kerajaan Nusantara juga dijumpai bekas kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan seperti Yogyakarta, Solo, dan Bali. Kota-kota Nusantara sebelum kedatangan Belanda terbatas berfungsi sebagai tempat lalu lintas perdagangan atau  hanya pusat pemerintahan.     
Kota-kota di Nusantara dikenal dengan sebutan kota pesisir atau kota sungai, kemudian berkembang kota-kota baru di kawasan daratan. Kota sungai memiliki keunikan dibanding kota daratan, sehingga ini merupakan potensi yang bisa dikembangkan dalam pembentukan citra suatu kota.
Permukiman sebagai bagian dari lingkungan binaan manusia, merupakan bentuk tatanan kehidupan yang didalamnya mengandung  unsur fisik spasial (sebagai wadah aktivitas manusia) dan unsur non-fisik dalam bentuk tata nilai (value of socio-culture) serta akumulasi aktivitas manusia. Rumah sebagai hasil bentukan arsitektur mencakup dua dimensi, yaitu: dimensi fisik spasial dan dimensi sosial-budaya masyarakat (Rapoport, 1969).
Permukiman di Indonesia sebagai lingkungan binaan manusia, proses dan komponen penyusunannya tidak dapat lepas dari masalah kondisi sosial budaya masyarakatnya, karena pada hakikatnya wujud fisik rumah sebagai lingkungan binaan merupakan manifestasi kehidupan non-fisik yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Permukiman sebagai hasil perwujudan fisik kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan dan menjadi satu kesatuan sistem budaya yang tercermin pada kompleks aktivitas berpola dalam suatu keseluruhan sistem sosial masyarakat disebut “kebudayaan fisik” (Physical culture: Koentjaraningrat; 1979). Menurut Koentjaraningrat (1979), ada tiga wujud kebudayaan yakni: (1) sistem kebudayaan (cultural system) berupa sistem nilai, norma-norma dan perangkat aturan;  (2) sistem sosial (social system) sebagai suatu kompleks aktivitas; dan (3) sistem fisik (physical system) sebagai benda hasil karya manusia. Secara diagramatik wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat (1979) digambarkan sebagai berikut:

Pemahaman sejarah permukiman untuk mewadahi manusia sebagai mahluk berbudaya. Permukiman mengandung pengertian sebagai wadah/ ruang bagi manusia untuk menciptakan manusia yang berbudaya, dimana kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam pengertian permukiman hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakatnya. Seperangkat nilai yang menjadi landasan dalam lingkup permukiman menentukan sikap terhadap dunia luarnya, dimana langkah-langkah kegiatan yang harusnya dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatannya mengacu pada faktor religi, kultural dan perilaku (Haryadi dan Setiawan, 2010).

2.3.4.   Sejarah dan Perkembangan Permukiman di Kalimantan Tengah
Menurut catatan sejarah perkembangan kota-kota di Kalimantan Tengah berada di tepi sungai yang tumbuh secara alami. Selain sungai-sungai yang tumbuh secara alami, terdapat juga kanal-kanal (saluran air/anjir) dan anak sungai yang banyak dibuat oleh Pemerintah Belanda pada zaman penjajajahan. Kanal-kanal/ saluran air/ Anjir dengan maksud sebagai antisipasi banjir, mengingat kondisi topografi kota-kota di Kalimantan Tengah yang labil akan serangan banjir pasang air laut. Fungsi sungai juga menyimpan catatan sejarah lahirnya kota-kota di Kalimantan Tengah antara lain Kota Kapuas, Kota Muara Teweh, Kota Buntok awal permukiman berada di tepi Sungai Barito, Kota Palangkaraya, Katingan dan Pulang Pisau tumbuhnya permukiman berada di tepi Sungai Kahayan, serta Kota Sampit, Kuala Pembuang, dan Pangkalanbun permukiman awal berada di tepi Sungai Mentaya. (Tjilik Riwut, 1979).  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah dan perkembangan kota telah menjelaskan terbentuknya kota-kota di Kalimantan Tengah diawali dari sungai yang banyak mengaliri kotanya.
Kota-kota di Provinsi Kalimantan Tengah termasuk kota yang lekat dengan julukan Kota Sungai. Ada sekian banyak sungai yang membelah kota ini antara lain Sungai Jelai, Arut, Kumai, Lamandau, Mentaya, Katingan, Kahayan, Kapuas, Barito dan Sebangau, semuanya bermuara di Laut Jawa dengan panjang hingga mencapai 900 km serta  panjang terlayari mencapai 720 km. Selain sungai-sungai tersebut di atas, terdapat beberapa anjir (sungai buatan), yaitu Anjir Kalampan, Anjir Basarang, Anjir Serapat, Anjir Tamban, Anjir Baturaya, Anjir Terusan, Anjir Nusa dan Anjir Simpur yang mempengaruhi perkembangan permukimman yang tergantung dari kondisi sungai tersebut. (DAS Kahayan, 2007)

Selasa, 02 April 2013


TEORI PERMUKIMAN
Oleh:
Noor Hamidah1
1Staf Pengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya
Email: nhamidah04@gmail.com

Mengetahui pengertian rumah, perumahan dan permukiman merupakan informasi pengetahuan awal menuju pemahaman teori rumah, perumahan dan permukiman. Berbagai literatur mengenai pengertian dari rumah, perumahan dan permukiman akan dipaparkan dibawah ini baik teori Abraham Maslow (1943), Amos Rapoport (1969), Turner (1972), Verschure (1979), serta teori rumah lainnya menjadi referensi awal mengkaji teori permukiman. Teori rumah, perumahan dan permukiman akan diimplementasikan pada ilmu permukiman di Indonesia, sehingga mampu memberikan solusi bagi permasalahan permukiman  Indonesia di masa mendatang.

Pengertian rumah menurut Turner (1972)
In English the word housing can be used as a noun or a verb.
When used as a noun, “housing” describes community or product.
When used as a verb “to house” describes the process or activity of housing.   
Artinya:
Dalam Bahasa Inggris kata “Rumah” bisa digunakan sebagai kata benda atau kata kerja.
Ketika digunakan sebagai kata benda, “Rumah” diartikan komunitas atau produk.
Ketika digunakan sebagai kata kerja,  “Rumah” diartikan sebagai proses atau aktifitas.


Pengertian Perumahan menurut GBHN Tahun 1993
Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Dalam hal ini perumahan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi kesejahteraan fisik, psikologi, sosial dan ekonomi penduduk, baik di daerah perkotaaan maupun pedesaan, dimana kehadiran lingkungan perumahan mempengaruhi struktur ruang perkotaan maupun pedesaan. 

Pengertian Permukiman Menurut Undang-undang No.4 tahun 1992
Definisi Permukiman menurut Undang-undang No.4 tahun 1992 adalah bagian dari lingkungan hidup diluar dari kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.