Minggu, 09 Desember 2018


PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU DI RUANG PUBLIK KOTA
                                oleh: Noor Hamidah

RTH Kota (Urban Green Open Space) adalah halaman rumah/bangunan pribadi, seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami tetumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian, sebagai:
1.   RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu);
2.   Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Purnomohadi, 1995).

Sedangkan Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa RT, apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’ yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, sebab tak layak huni.  Secara hukum (hak atas tanah), RTH bisa berstatus sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood), seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota, dan sebagainya), maupun milik umum, seperti: Taman-taman Kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan Kota/Urban Forest Park, Lapangan Olahraga (umum), Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau koridor hijau): lalu-lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaringan tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/SUTET, Taman Pemakaman Umum (TPU), dan daerah cadangan perkembangan kota (bila ada). Lebih jelasnya, bila berdasar pada status penguasaan lahan, RTH kota dapat terletak di:
1.   Lahan Kawasan Kehutanan, yurisdiksinya diatur oleh UU Nomor: 5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Kawasan Hutan Kota dapat berupa Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun Bibit Kehutanan.
2. Lahan Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria. Menurut kewenangan pengelolaannya berada di bawah unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang dimiliki atau dikelola penduduk.

Menurut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Sedangkan zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka (Hijau).
Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pengelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan daerah khusus RTH kota dan peraturan lain terkait, namun tetap masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, yang dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan menjadi UU No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Keterbatasan lahan hijau dan masih kuatnya egoisme sektoral menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian tembok pembatas antar gedung bertingkat yang masif dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh khususnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indonesia, hingga dapat menyatu dengan trotoar yang berada di tepian badan jalan. Untuk menjaga ketertiban, maka peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut pembayaran biaya parkir di halaman gedung.
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Tentu saja ‘angka’ ini bukan merupakan patokan mati. Penetapan luas RTH kota harus berdasar pula pada studi eksistensi sumber daya alam dan manusia penghuninya.
Penetapan besaran luas RTH ini bisa juga disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disayangkan, bahwa dalam hal pengelolaan RTH Kota agar tetap bisa eksis, bahkan kualitas maupun kuantitas RTH-nya bisa terus meningkat, nampak kurang konsistennya Pemerintah Daerah DKI-Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika target luas RTH dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 adalah 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, target tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal). Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010, target luas RTH menyusut hanya sebesar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara luas RTH di lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190 hektar, atau ‘kritis’) dari total luas kota Jakarta yang 66.152 hektar tersebut.
Target yang semakin menyempit itu pun, konon sulit direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH yang sering di korbankan padahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis tinggi, bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara fisik maupun psikologis.
Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain. Dapat disimpulkan, bahwa sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ruang rekreasi gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.

Selasa, 13 Maret 2018

ANALISIS KAMPUNG PAHANDUT SEBAGAI PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI BERKELANJUTAN


ANALISIS KAMPUNG PAHANDUT SEBAGAI PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI BERKELANJUTAN
Analysis of Kampung Pahandut as Sustainable Urban Riverside Settlement
Noor Hamidah[1],2, R. Rijanta[2],  Bakti Setiawan[3],  Muh Aris Marfai2

Diterima: 17 Mei 2017           Disetujui: 29 Agustus 2017
Abstrak: Permukiman di Indonesia secara umum terletak di tepian sungai. Salah satu permukiman tertua di tepian sungai adalah Kampung Pahandut kawasan tepian Sungai Kahayan, Kota Palangka Raya, Propinsi Kalimantan Tengah. Permukiman tepian Sungai Kahayan merupakan pusat kehidupan bagi masyarakat lokal dan akses utama ke wilayah lain di Kalimantan Tengah. Permukiman tepian Sungai Kahayan merupakan permukiman awal dan berkembang menjadi pusat Kota. Integrasi formal dan informal di permukiman tepian Sungai Kahayan akan diekplorasi untuk keberlanjutan permukiman tepian sungai di masa depan. Permukiman secara umum meliputi: (1) alam; (2) lindungan/rumah; (3) jejaring; (4) manusia; dan (5) masyarakat. Batasan penelitian integrasi formal dan informal dikaji secara fisik meliputi: (1) alam, (2) rumah, dan (3) jaringan di lingkungan permukiman, khususnya permukiman alami dengan kekhasan arsitektur tepian sungai. Metode penelitian menggunakan metode kombinasi/gabungan (kualitatif dan kuantitatif). Penelitian integrasi mengekplor antara data observasi lapangan dan data survei dengan mengambil 50 sampel Kepala Keluarga di Kampung Pahandut, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dilakukan untuk mengeksplorasi informasi potensi permukiman tepian sungai. Hasil penelitian menunjukkan terdapat variabel-variabel integrasi formal dan informal di permukiman tepian sungai, yaitu: (1) alam, (2) rumah, dan (3) jaringan. Ketiga variabel integrasi tersebut mendukung model perbaikan permukiman di kawasan tepian sungai menuju pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pelestarian kawasan tepian sungai.

Kata kunci: Analisa, Kampung, Pahandut, Permukiman, tepian Sungai, Kahayan
Abstract: Settlements in Indonesia are generally located on the urban riverside area. One of the oldest settlements on the banks of the river is Kampung Pahandut on the Kahayan riverside area, Palangka Raya City, Central Kalimantan Province. The riverside settlement of the Kahayan River is the center of life for local people and key access to other areas of Central Kalimantan. Settlement of the Kahayan River is an early settlement and develops into the center of the City. Formal and informal integration in the Kahayan River riverside settlements will be explored for future sustainability of riverbank settlements. Settlement consist of: (1) nature; (2) shell/house; (3) network; (4) man; and (5) community. This research only focus on analysis of physical integration (1) nature; (2) shell/house; and (3) network especially natural settlement with the unique of riverside architecture. The objective of this research was to explore the pattern of settlements as an adaptation to the physical environment riverside area and to analyses the physical, economic and social apart of integration of urban riverside settlement. Research method used a combination (mix-used method) based on field observation and quesioner with 50 sample representated on one villages of Pahandut. The results showed there are three variables that affect to riverside settlement, namely: (1) nature; (2) settlement; and (3) network. The three variable of the settlement pattern support settlements in those areas riverside towards sustainable development through to riverside area.

Keyword: Analysis, Kampung, Pahandut, Settlement, Urban Riverside, Kahayan

Publish on Tata Loka Journal UNDIP, August 2017



1 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Palangka Raya
2 Jurusan Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
3 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada