Kamis, 26 September 2013

Pemahaman Permukiman Informal

Di dalam berbagai literatur istilah pemukiman informal merupakan sebutan lain dari Informal settlement adalah suatu areal permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat  sangat miskin dan tidak mempunyai kepemilikan lahan legal. Oleh sebab itu mereka menempati lahan-lahan kosong ditengah kota baik yang berupa lahan privat maupun lahan umum.(Srinivas, 2005). Sedangkan menurut peraturan kepemilikan tanah, pembangunan tanah dan bangunan terdapat definisi perumahan yang lebih mengarah kepada pasar perumahan (housing market). Secara garis besar  terbagi dalam dua sektor, yaitu: 1) Sektor Formal; dan 2) Sektor Informal. Sektor Formal mengacu pada pembangunan perumahan yang dibangun berdasarkan beberapa peraturan pembangunan dan melalui prosedur legal. Sedangkan sektor informal mengacu pada pembangunan tanpa melalui peraturan membangun dan tanpa melalui prosedur legal.
Berdasarkan sektor formal ini sistem produksi dan pengadaan perumahan dibagi dua sistem pengadaan, yaitu: 1) pertama, perumahan yang diproduksi oleh pemerintah umumnya tidak ada motivasi mencari keuntungan; dan 2) kedua, perumahan yang diproduksi oleh perusahaan swasta/pengembang swasta adalah penyedia perumahan dengan motivasi mencari keuntungan. Sektor formal hanya mampu menyediakan 20% kebutuhan rumah secara umum, sedangkan di negara-negara berkembang hanya mampu memfasilitasi 10% saja kebutuhan perumahan. Sementara sektor informal lebih banyak berperan  dalam pengadaan perumahan dengan berbagai proses dan kompleksitas penyediaaanya mampu menyediakan sekitar 90% perumahan terutama di negara-negara berkembang. Di dalam permukiman informal ini banyak istilah yang digunakan, antara lain: low-income settlements, Spontaneous, Unplanned, Squatter, Slum, Popular settlement, Self-help housing etc.(Herrle, i 981). Berikut akan dijabarkan perbedaan pengertian dari permukiman informal ini.   
1.  Slum dan Squatter
Pemahaman arti Slums and Squatter settlement pada prinsipnya adalah sama yaitu tentang pemukiman masyarakat miskin, hanya saja kata "Slums" lebih mengacu pada kondisi atau keadaan suatu permukiman masyarakat miskin, sedangkan "Squatter settlement" lebih mengacu pada legalitas permukiman masyarakat miskin. (UNCHS, 1982). Masyarakat yang tinggal pada permukiman informal merupakan masyarakat miskin yang sering dianggap menjadi penyebab keburukan kota dan keadaan ini membuat masyarakat tersebut menjadi terpinggirkan oleh kehidupan masyarakat kota. Dengan keadaan tersebut hasil karya arsitektur yang diciptakan oleh masyarakat miskin di permukiman informal secara spontan sering kali dikenal sebagai hasil karya arsitektur terpinggirkan atau marginalized architecture.
Slums adalah sebuah area “terlupakan” dari sebuah wilayah perkotaan, dimana kondisi perumahan dan standar kehidupan berada dalam tingkat terendah. Penggunaan istilah Slums mulai dari permukiman padat populasi di pusat kota yang mulai mengalami degradasi sampai menyebut permukiman informal, permukiman spontan yang  tidak memiliki legalitas.(Miah, et.al,p. 18, 1999). Slums dibedakan melalui tipe permukimannya: (i) squatter settlements; (ii) illegal commercial suburban land division; (iii) occupation of overcrowded (pada kepadatan bangunan di pusat kota). (Lasserve, 2006).
UN-Habibat mendefinisikan “Slums” sebagai berikut: “Slums” as contiguous settlements where its habitats have insecure residential status, inadequate access to safe water, inadequate access to sanitation and other basic infrastructure and services, poor structural housing quality and overcrowding.The lack of security of tenure, or protection among evictions is pointed as a main common characteristic of these kinds of settlements.
World Bank mendefinisikan: “Slums” range from high density, squalid central city tenements to spontaneous squatter settlements without legal recognition or rights, sprawling at the edge of the city. Some are more than fifty years old; some are land invasions just underway. Slums have various names, Favelas, Kampungs, Bidovilles, Tugurios, yet share the same miserable living conditions.
Hardoy dalam bukunya yang berjudul “Squatter Settlement" mengatakan bahwa masyarakat miskin mendemonstrasikan kecerdikannya dalam mengembangkan lingkungan perumahan mereka yang baru dan dalam mengorganisasikan konstruksi perumahan, walaupun pemerintah menghargai mereka sebagai ilegal, sering kali jauh lebih sesuai dengan kebutuhan lokal mereka, income lokal mereka, keadaan iklim lokal di sekitar mereka, dan bahan dasar lokal mereka dari pada standard-standard legal dan official yang disyaratkan oleh pemerintah. (Hardoy and Satterthwaite, 1989).
Menurut Cody (1996) menulis dalam artikel Journal 'Habitat Debate' ada banyak hal positif yang dapat dipelajari dari perkembangan marginalized architecture  bertolak belakang dari gambaran kekumuhan yang sering kali diungkapkan oleh banyak orang.
"By regarding the poor as partners and not as problems, community responsibility, accountability, and development can be returned to the community itself, and a more responsive and sustainable system of urban environmental management implemented. To regard the poor not as a problem but a solution requires a radical change in thinking, and in expectation, but result in a society which is far more equitable and sustainable? It benefits the urban environment, and it benefits every section of urban society.

2.Spontaneous Settlement
Hernando de Soto (1991) pakar yang mengkaji perumahan di Meksiko menyebutkan “Spontaneous settlement” pada permukiman informal di Meksiko. Menurut de Soto (1991), permukiman informal menjalani proses yang semula dari menduduki tanah secara gradual oleh rumah tangga yang datang satu persatu, ataupun secara serempak oleh kelompok besar, kemudian membangun rumah dan pada akhirnya berharap mendapatkan hak milik atas tanah dan bangunan. Kondisi ini terbalik bila dilihat dari prosedur permukiman formal yang mulai dari hak atas tanah, meminta izin dan kemudian membangun rumahnya.

3. Popular Settlement
Popular settlement ialah Permukiman informal dilihat secara garis besar melingkupi kesatuan lingkungan permukiman terdiri dari pola rumah, tipe hunian dan tanah. Pengertian ini mengacu pada keseluruhan tempat tinggal (tempat berlindung, fasilitas sosial dan infrastruktur) dilihat dari keunikan masyarakat yang dilatar belakangi oleh keunikan setting lokasi. Banyak nama digunakan untuk popular settlement antara lain: Villas miserias (Argentina); Favelas, Alagados (Brazil); Callampas (Chile); Barriadas, Barrios piratas, Tugorios (Colombia).

4. Self-Help Housing
Self-help housing ialah pengertian umum yang digunakan dalam sektor perumahan di dunia sebagai konsep yang merujuk pada kemampuan masyarakat miskin untuk bertahan/berlindung bagi diri dan keluarganya. Self-help housing merupakan perumahan bagi individu atau kelompok rumah tangga menyediakan perumahan tanpa akses maupun tanpa adanya kontrol dari industri perumahan, tanpa dukungan finansial, ataupun tanpa campur tangan administasi dari pemerintah untuk membuat legalitas perumahan.

5. Autonomous Housing (Housing by People)
John Turner (1992), pakar yang mengkaji perumahan di Amerika Latin menamakan “barriadas” pada permukiman informal di Lima, Peru sebagai permukiman otonom (autonomous housing) karena terbangun oleh individu atau keluarga tanpa campur tangan dari otoritas kota atau otoritas lainnya. Ada banyak sebutan lain dari informal settlement selain pemukiman informal, dan sebutan tersebut dipergunakan oleh para ahli untuk menjelaskan sikap dan pendekatan terhadap perkembangan permukiman masyarakat miskin.  Gagasan J.F.C. Turner (1976) dalam bukunya Housing by People mengakui bahwa rakyat sebenarnya mampu mengadakan perumahannya sendiri dengan baik sesuai ukuran dari pemilik-pemakainya. 

6.Pengertian Perumahan Swadaya (Low-income Housing)
Perumahan swadaya (Low-income settlement) istilah yang digunakan oleh pemerintah sebagai sebutan perumahan informal untuk masyarakat berpendapatan rendah. Pembangunan perumahan secara swadaya umumnya dilakukan oleh masyarakat berpendapatan rendah, tanpa melalui prosedur pembangunan yang formal. Pengadaan hunian secara swadaya merupakan aset pengadaan rumah yang besar di Indonesia maupun di berbagai wilayah di Asia pada umumnya. Perumahan swadaya sekarang ini dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan cara yang legal formal, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju.

7. Pengertian Urban Kampung (Kampung Kota)
Kampung kota (Urban Kampung) merupakan istilah untuk permukiman informal di Indonesia. Pengertian Kampung kota (permukiman  informal) ini merupakan penjabaran dari karakteristik unik kawasan permukiman di Indonesia berdasarkan lokasi geografi wilayah yang tidak ditemukan pada kota-kota di negara lain. Secara umum kampung kota (permukiman informal) adalah suatu permukiman ilegal dibangun secara tidak formal (mengikuti ketentuan-ketentuan kota yang bersangkutan), memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, serta kurangnya sarana dan prasarana, sehingga kesehatan menjadi masalah utama. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa permukiman kampung kota adalah istilah untuk permukiman rakyat yang berupa kantung-kantung perumahan yang padat di kota-kota besar di Indonesia (Raharjo, 2010). Tetapi pengertian yang lebih tepat menurut Wiryomartono (1995) suatu permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota.    
Kampung kota ini sudah menggejala sejak pemerintahan Hindia Belanda. Kampung kota mulanya terbentuk sebagai kampung pribumi di kota-kota pada masa kolonian.  Menurut Wiryomartono (1995),  Permukiman Informal (kampung kota) di Indonesia di pengaruhi oleh kebudayaan dan tatacara kehidupan yang dibawa kaum kolonial berpengaruh pula terhadap perkembangan kota-kota di Indonesia. Pola dan karakter kolonial dicerminkan dari adanya bagian kota yang disebut daerah “Elite” dan bagian kota yang merupakan permukiman padat dinamakan “Kampung”.