TEORI PERMUKIMAN (EKISTICS THEORY)
Pemikiran awal tentang permukiman atau
dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah ekistics
telah dimulai sejak tahun 1940-an. Namun, sebagai ilmu, ekistics baru ditulis lebih sistimastis oleh Constantinos A.
Doxiadis sebagai orang pertama yang mengembangkan Ilmu Ekistics, pada tahun
1967. Doxiadis tertarik untuk menulis ilmu permukiman karena perhatiannya yang
besar pada masyarakat kurang beruntung dan tinggal di permukiman kumuh. Dia mengatakan:
“…my thought take me to those who have
suffered so much because of the lack of proper settlements, and have forces me
to open my eyes to this great problem.. …they were always the same men, women
and children for they were always human beings”(Doxiadis, 1967 dalam
Winarso, 2013).
CA Doxiadis adalah orang Yunani yang
lahir pada tahun 1913 dari keluarga yang berperan besar dalam memukimkan
kembali pengungsi di Yunani di antara dua perang dunia. Ayah Doxiadis adalah
seorang dokter anak yang menduduki jabatan menteri yang bertanggung jawab pada pemukiman
kembali para pengungsi, kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat. Doxiadis
mendapat pendidikan formal di Yunani dan menyelesaikan sarjana Arsitektur di
Technical University of Athens pada tahun 1935. Ia kemudian bekerja dan meneruskan
sekolah di Berlin-Charlottenburg University. Mendapatkan gelar Dr. Ing. Dengan judisium
penghargaan pada tahun 1936. Doxiades meninggal pada tanggal 28 Juni 1978. Dua
puluh lima tahun setelah Doxiadis meninggal, permasalahan permukiman masih saja
ada. Di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah permukiman
semakin
berat,
terutama ketika pengaruh informasi global memasuki kehidupan manusia di permukiman
kumuh di perkotaan. Ada perasaan termarjinalkan di kalangan pemukim permukiman
kumuh dan merasa ada gap yang besar antara the
have dan the have not. Usaha Doxiadis mendapatkan preskripsi dalam
menyelesaikan permasalahan permukiman belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Namun, paling tidak, usahanya memberi tambahan pendekatan pemikiran yang diakui
keabsahannya dalam wacana akademik.
Ekistics
sebagai suatu pendekatan untuk
menjelaskan terjadinya atau untuk menganalisis apa yang terjadi dalam suatu permukiman
merupakan pendekatan yang netral yang dapat digunakanuntuk menganalisa apa yang
terjadi dalam permukiman dimana saja. Sebagai ilmu untuk melakukan preskripsi,
kelihatannya Ekistics masih harus
banyak meminjam ilmu lain yang sudah ada dan bahkan sudah lebih mapan. Di
Indonesia perkembangan penataan ruang yang didalamnya termasuk penataan permukiman,
pada tiga dasa warsa terakhir banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang lebih dulu
berkembang di Barat, dibawa ke Indonesia oleh ahli dan birokrat Indonesia yang
belajar di sana. Dalam keadaan itu, pendekatan Ekistics dibawa ke Indonesia dan dipakai secara sengaja maupun tidak
dalam perencanaan tata ruang untuk permukiman.
Ekistics
sebagai ilmu membicarakan mengenai perkembangan permukiman yang semakin
membesar mulai dari unit yang paling kecil (room,
dwelling, dwelling group, small neigborhood) hingga metropolis, megalopolis,
urban region, urban continent sampai ke Eucomenopolis (kota dunia). Upaya
harus terus dilakukan untuk mengatasi persoalan yang semakin kompleks akibat
pertambahan penduduk yang tinggi. Dalam kaitan ini, teori Ekistics masih relevan untuk dipakai sebagai salah satu alat untuk
menjelaskan dan untuk mencarai preskripsi perencanaan di Indonesia di masa
depan bersama teori lain yang sudah lebih mapan.
Doxiadis (1969) menyatakan bahwa permukiman
adalah tempat manusia hidup dan berkehidupan. Oleh karenanya, suatu permukiman
terdiri atas isi (the content) yaitu manusia
dan tempat fisik manusia tinggal yang meliputi elemen alam dan buatan manusia (the container). Dalam pengertian ini, Doxiadis
mengatakan, permukiman tidak hanya digambarkan dalam tiga demensi saja, tetapi
harus empat dimensi, oleh karena ada unsur manusia yang hidup dan selalu
berubah karakter dan budayanya dalam kerangka waktu. Lebih jauh, isi dan tempat
dapat dibagi lagi menjadi lima elemen utama yang disebut sebagai elemen Ekistics: (1) Alam (Nature), memberikan pondasi tempat permukiman terbentuk atau dibentuk
dan kerangka yang di dalamnya suatu permukiman dapat berfungsi; (2) Manusia (Man); (3) Masyarakat (Society);(4) Bangunan/ Struktur Ruang (Shells), suatu struktur yang di
dalamnya manusia dapat hidup dan
berkehidupan sesuai fungsinya; (5) Jejaring (network),
baik yang alamiah maupun yang buatan yang memfasilitasi berfungsinya suatu
permukiman (misalnya Jalan, listrik, air).
Kelima
elemen itu bekerja bersama dalam suatu permukiman. Argumentasi Doxiadis
mengenai perlunya ilmu yang khusus mempelajari permukiman adalah karena selama
ini ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan permukiman masih terpisah-pisah. Termasuk
didalamnya: ilmu ekonomi, imu-ilmu sosial, politik, teknik dan kebudayaan.
Ilmu-ilmu ini menjelaskan lima elemen utama ekistics
tersebut di atas secara parsial.Ekistics menawarkan
kombinasi dari ilmu-ilmu tersebut menjadi kesatuan pemikiran, sehingga
dikatakan Ekistics adalah ilmu mengenai
permukiman.
terimakasih atas sharingnya bu
BalasHapusKeren tulisannya
BalasHapus