SUNGAI DAN PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI
1. Fungsi Sungai
Kawasan
Tepian Sungai ialah wilayah daratan sebagai Daerah Tangkapan Air (DAT/ catchmen area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya
terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia
sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2007). Daerah
Aliran Sungai (DAS) menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 1 ialah
suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air
berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, batas di darat
merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan
masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sungai
menurut Mulyanto (2007) berdasarkan sifatnya terbagi atas: (1) hulu sungai
berarus deras (turbulent atau torrential
river); (2) sungai alluvial; (3) sungai pasang surut (tidal river); (4) muara sungai (estuary);
(5) mulut sungai (tidal inlet);
dan (6) delta sungai yaitu dataran yang terbentuk oleh sedimentasi di muara
sungai Bagian-bagian sungai dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (i) bagian hulu
berfungsi sebagai produksi, dimana rawan terjadi longsor; (ii) bagian tengah
berfungsi sebagai transportasi sebagai aliran limpasan (overland flow); dan (iii) bagian hilir merupakan bagian datar
sebagai penerima aliran air permukaan (run
off) penampung terjadinya banjir, adanya deposisi dan sedimen.
Sungai
merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, berkembang secara turun-temurun.
Sungai berfungsi antara lain: (1) sebagai tempat usaha; (2) sebagai pemenuhan
hidup sehari-hari (mencari ikan, mencuci, mandi); (3) sebagai tempat tinggal;
(4) sebagai sarana transportasi (pelabuhan); (5) pertukaran kebutuhan perdagangan
(barter); (6) sebagai penghubung
hasil produksi pertanian daerah pedalaman; dan (7) pusat kebudayaan dan
kerajaan di Indonesia (Karnowihardjo et
al, 2004: 103; Baiquni, 2004).
2.
Klasifikasi
Permukiman
Awalnya rumah-rumah tumbuh di kawasan tepian sungai karena pemukim mendekati sumber daya bagi kegiatan mereka sehari-hari disebut Kampung. Kampung merupakan model embrio kota. Sungai berfungsi sebagai sarana transportasi dan akses ke sumber daya merupakan salah satu faktor pendorong tingginya laju pertumbuhan hunian kawasan tepian sungai lebih cepat menjadi kawasan perkotaan, baik secara fisik, demografis, lokasi geografis maupun sisi ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain.
Berdasarkan aspek perkembangan
permukiman secara hierarkis permukiman (settlement) menurut Barlow (1971) dalam Yunus (2013) ditinjau
secara fisik, terdiri atas: (1) skala mikro ialah semua tipe tempat tinggal
manusia baik bangunan tunggal (gubuk/single hatch/single houses); (2)
skala messo yaitu kelompok bangunan/rumah jamak (rumah-rumah petani/kawasan
perumahan/farm houses/plural houses); dan (3) skala makro ialah rumah-rumah
jumlahnya sampai ribuan tempat tinggal.
Roberts (1996)
menjabarkan perkembangan permukiman mulai dari satu pondok petani (farmstead), berkembang menjadi beberapa
pondok membentuk satu dusun (hamlet),
beberapa dusun membentuk satu desa (village),
beberapa desa membentuk satu kota kecil (town),
beberapa kota membentuk satu kota menengah (city),
beberapa kota menengah membentuk satu kota besar (large city/metropolis), beberapa kota besar membentuk kota sangat
besar (millionaire city), dan selanjutnya beberapa kota sangat besar
membentuk kota megapolis.
3.
Permukiman Tepian
Sungai
Permukiman
kampung di kawasan tepi air menurut Respati (1999; Umar Lubis, 2009) mempunyai
pola permukiman yang berbeda, yaitu:
(1) Kampung di
pesisir pantai, pola permukiman terbentuk karena struktur fisik pantai (pantai
landai dan ombak tenang lebih dominan sebagai lokasi hunian dibanding pantai
curam);
(2) Kampung di sepanjang sungai. Pola perkampungan
di sepanjang sungai di pedesaan menggunakan sungai sebagai sarana transportasi,
pola linier mengikuti pola aliran sungai.
Macam-macam pola dan struktur kota tepian sungai di Kalimantan ada delapan macam (Budi Prayitno, 2005), yaitu: (1) sungai
membelah kota; (2) kota berada di pinggiran sungai; (3) kota dibelah oleh
beberapa sungai dan anak sungai; (4) kota rawa; (5) sungai membelah kota
pantai; (6) sungai membelah kota di ketinggian pegunungan; (7) sungai membelah
kota danau; dan (8) kota pantai berdekatan dengan sungai. Denpaiboon (2001) telah melakukan penelitian
mengenai eksistensi permukiman tepian sungai di Thailand. Hasil penelitian
Denpaiboon menganalisis proses transformasi berdasarkan kurun waktu tertentu
dan membandingkan transformasi permukiman pada kawasan rural dan urban.
Denpaibon menjabarkan tipomorfologi permukiman tepian sungai terbagi dua,
yaitu: (1) permukiman di atas air (rumah rakit/rumah lanting); dan (2)
permukiman di atas tanah (rumah tiang/rumah panggung). Hasil penelitian
direkomendasikan sebagai model kebijakan permukiman kawasan tepian sungai yang
eksistensinya mendukung keberadaan Kota Thailand.
Penelitian permukiman tepian sungai dilakukan oleh Sarwadi (2002). Lokus
penelitian pada permukiman di tepian Sungai Musi, Kota Palembang. Palembang merupakan
salah satu kota tepian sungai yang memiliki sejarah permukiman tertua di
Indonesia yaitu sejak berjayanya Kerajaan Sriwijaya. Kota Palembang dialiri
banyak anak sungai yang kemudian bermuara di Sungai Musi. Sungai Musi membelah
kota Palembang menjadi dua bagian yaitu daerah seberang hulu dan daerah
seberang hilir. Pada mulanya permukiman tepi sungai di Kota Palembang cukup
tertata rapi berdasarkan aturan Sultan dalam mengatur lokasi permukiman.
Setelah masa kemerdekaan, tidak dapat diketahui secara pasti kapan permukiman
tepi sungai mulai menjadi padat dan kumuh. Penelitian Sarwadi (2002) bertujuan
memperlihatkan karakteristik permukiman tepian sungai yang berbeda dengan
permukiman tepian sungai di Pulau Jawa. Permukiman tepian Sungai Musi mempunyai
dua tipe, yaitu: (1) Rumah lanting yaitu
rumah terletak di badan sungai, terapung di atas air (raft houses); dan (2) Rumah panggung terletak di tepian sungai
yang kondisi lokasinya tergantung dari pasang surut air.
Fokus penelitian Sarwadi (2002) pada upaya perbaikan tata letak rumah,
eksplorasi pada kondisi ekonomi-sosial masyarakat, dan perbaikan permukiman
oleh masyarakat lokal dalam memelihara lingkungan termasuk perbaikan
infastruktur dan sosial-ekonomi. Rekomendasi program perbaikan permukiman tepian
sungai dan implikasi untuk perencana dan kebijakan melalui: (1) Program
perbaikan permukiman ke bangunan semi permanen; (2) perbaikan permukiman
memfasilitasi penduduk untuk mendapatkan kerja yang lebih baik; (3) ruang
bersama merupakan penyatuan penduduk dengan lingkungan di kawasan tepian
sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar